Cendekiawan Santri - Mudzakaroh dan Musyawarah serta Bahtsul Masail Seputar Ilmu Syariat Islam
M E N U
  • HOME
  • BIOGRAFI ULAMA'
  • BAHTSUl MASAIL
  • Info & Berita Islami
  • Kajian
  • _Tajwid
  • _Bahasa Arab
  • _Shorrof
  • _Nahwu
  • _Fiqh
  • _Tasawwuf
  • _Ibroh
  • _Lirik dan Syair
  • Amalan Harian
  • Cerpen & Novel
  • _Cerpen Cerdas
  • _Cerpen Islami
  • _Novel islami
  • _Mimpi di atas Awan
  • _Tanda Titik
  • _Azwidatul Azkiya'
  • Bisnis Online

Home » Fiqh » Hukum Mengucapkan Selamat Natal

Hukum Mengucapkan Selamat Natal

Dipublikasikan oleh: Abdul Mannan Syaroni Pada: Friday, January 04, 2019

PERTANYAAN
Bagaimana hukum mengucapkan selamat Natal kepada umat Kristiani?
JAWABAN
Terdapat perbedaan pendapat seputar hukum mengucapkan selamat Natal. Perbedaan tersebut mengerucut kepada satu hal, apakah ucapan selamat Natal termasuk kategori akidah (keyakinan) atau muamalah (pergaulan)? Jika dikategorikan akidah, berarti ucapan itu merupakan doa dan kerelaan atas agama orang lain. Bila dikategorikan muamalah, maka ucapan tersebut justru dianjurkan karena merupakan wujud toleransi yang dijunjung tinggi oleh Islam.
Yang mengharamkan
Ulama yang mengharamkan (seperti Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Syeikh Ibn Baz, Shalih al-Utsaimin, Ibrahim bin Muhammad al-Huqail, dll) berlandaskan pada ayat:
إِنْ تَكْفُرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنْكُمْ وَلَا يَرْضَى لِعِبَادِهِ الْكُفْرَ وَإِنْ تَشْكُرُوا يَرْضَهُ لَكُمْ
Artinya : “Jika kamu kafir, maka sesungguhnya Allah tidak memerlukan (iman)mu dan Dia tidak meridhai kekafiran hamba-Nya; dan jika kamu bersyukur, niscaya Dia meridhai kesyukuranmu.” (QS. Az Zumar : 7). Menurut golongan pertama ini, mengucapkan selamat Natal termasuk kategori rela terhadap kekufuran.
Dalil lainnya adalah sabda Rasulullah SAW:
خَالِفُوا الْمُشْرِكِينَ أَحْفُوا الشَّوَارِبَ وَأَوْفُوا اللِّحَى
”Bedakanlah dirimu dari orang-orang musyrik, panjangkanlah jenggot dan cukurlah kumis.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Ibn Umar ra)
Juga Hadits Nabi SAW:
« مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ ».
”Siapa yang meniru suatu kaum maka ia adalah bagian dari mereka.” (HR. Abu Dawud dai Ibnu Umar ra).
Intinya, golongan pertama ini juga menganggap hari raya sebagai syi’ar agama. Mengucapkan selamat hari raya berarti mengakui “kebenaran” agama tersebut. Padahal, menurut mereka, setiap umat memiliki hari besarnya masing-masing. Dan umat Kristiani menjadikan Natal sebagai hari besarnya. Sementara Islam sudah memiliki dua hari raya sendiri.
Diriwayatkan dari Anas bin Malik ra., “Ketika Nabi SAW tiba di Madinah, penduduk Madinah memiliki dua hari raya yang mereka bersenang-senang di dalamnya. Lalu beliau bertanya, “Dua hari apa ini?” Mereka menjawab, “Dua hari yang kami bermain-main di dalamnya pada masa Jahiliyah.” Maka Nabi SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mengganti untuk kalian dua hari tersebut dengan Idul Adha dan Idul Fitri.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad).
Nabi SAW juga pernah bersabda kepada Abu Bakar ra., “Hai Abu Bakar, setiap kaum memiliki hari raya, dan inilah hari raya kita.” (HR. Bukhari).
Alasan lainnya adalah Sadd Al-Dzarî’ah atau memutus akses menuju hal-hal yang dilarang. Mengucapkan selamat Natal merupakan “jalan” menuju hal-hal yang terlarang itu.
Yang membolehkan
Syeikh Yusuf Al-Qardhawi mengatakan bahwa mengucapkan selamat justru merupakan kebaikan (al-birr),  sebagaimana firman Allah SWT:
لايَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
Artinya: Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu dan tidak (pula) mengusirmu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. (QS. Al-Mumtahanah, 8)
Kebolehan memberikan ucapan selamat juga berlaku jika orang Kristen yang memberikan ucapan selamat kepada kita. Allah berfirman:
وَإِذَا حُيِّيتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ حَسِيبًا
Artinya: Apabila kamu diberi penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik, atau balaslah dengan penghormatan yang serupa. Sesungguhnya Allah memperhitungankan segala sesuatu. (QS. An-Nisa’: 86)
Musthafa Ahmad az-Zarqa’ menyatakan bahwa tidak ada dalil yang secara tegas melarang seorang Muslim mengucapkan selamat hari raya kepada orang kafir. Beliau mengutip hadits yang menyebutkan bahwa Rasulullah SAW pernah berdiri menghormati jenazah Yahudi. Penghormatan ini tidak ada kaitannya dengan pengakuan atas kebenaran agama yang dianutnya. Sehingga ucapan selamat kepada umat Kristiani tidak terkait dengan pengakuan atas kebenaran keyakinan mereka, melainkan hanya bagian dari mujamalah (saling berbuat baik) dan muhasanah (sopan-santun) kepada teman yang berbeda agama.
Selain itu, sikap Islam terhadap penganut agama monotheis (Yahudi dan Kristen) jauh lebih lunak daripada kepada kaum Musyrikin penyembah berhala. Bahkan al-Quran menghalalkan makanan serta wanita ahli kitab untuk dinikahi (al-Maidah: 5). Dan salah satu konsekuensi pernikahan adalah menjaga hubungan dengan pasangan, termasuk bertukar ucapan ‘selamat’.


Dalam sebuah riwayat disebutkan, seorang Majusi mengucapkan salam kepada Ibnu Abbas “assalamualaikum”, dan Ibnu Abbas menjawab “waalaikumussalam wa rahmatullah”. Kemudian sebagian sahabatnya bertanya, “dan rahmat Allah?”. Ibnu Abbas menjawab: “Bukankah mereka hidup itu merupakan bukti mendapat rahmat Allah Swt?.”
Intinya, ucapan selamat Natal adalah bagian dari masalah sosial (muamalah, non-ritual). Dalam Ushul Fiqh disebutkan, semua tindakan non-ritual adalah dibolehkan, kecuali ada dalil yang melarang. Dan menurut golongan kedua ini, tidak ada satu ayat Al Quran atau hadits pun yang secara eksplisit melarang mengucapkan selamat kepada orang non-muslim. Ini merupakan pendapat Ibnu Mas’ud, Abu Umamah, Ibnu Abbas, Al-Auza’i, An-Nakha’i, At-Thabari, dll.
Yang mengklasifikasi (Tafsil)
Selain dua pandangan di atas, ada juga ulama yang tidak mengharamkan secara mutlak dan tidak membolehkan secara mutlak. Pendapat ketiga ini memilah antara ucapan yang haram dan ucapan yang bisa ditolelir.
  1. Ucapan yang halal adalah ucapan yang tidak mengandung hal-hal yang bertentangan dengan syariah. Seperti, “Semoga Tuhan memberi petunjukNya kepada Anda.”
  2. Ucapan yang haram adalah ucapan yang mengandung hal-hal yang bertentangan dengan syariah. Seperti, ”Semoga Tuhan memberkati dan menyelamatkan Anda sekeluarga.”
Golongan ketiga ini juga membedakan antara ucapan selamat Natal karena terpaksa, dengan yang tidak terpaksa. Jika seorang Muslim berada di lingkungan Mayoritas Nasrani, seperti di Ambon, Papua, atau negara-negara Eropa dan Amerika atau pegawai yang bekerja kepada orang Nasrani, siswa di sekolah Nasrani, pebisnis yang sangat tergantung dengan kolega Nasrani, maka boleh mengucapan selamat Hari Natal kepada orang-orang Nasrani yang ada di sekitarnya. Ucapan selamat itu harus dibarengi unsur keterpaksaan dalam hati (inkar bil qalbi) serta diiringi istighfar.
Di antara kondisi terpaksa seperti: pegawai muslim yang tidak mengucapkan Selamat Natal karirnya dihambat atau dikurangi hak-haknya. Atau siswa muslim yang tidak memberikan ucapan Selamat Natal akan ditekan nilainya, diperlakukan tidak adil, dikurangi hak-haknya. Atau seorang muslim yang tinggal di daerah/negara non muslim jika tidak memberikan Selamat Hari Natal kepada tetangga Nasrani akan mendapatkan tekanan sosial dan sebagainya. Pendapat ini berdasarkan kepada firman Allah swt sbb:
مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ وَلَكِنْ مَنْ شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِنَ اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
Artinya: “Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah ia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang terpaksa, padahal hatinya tetap tenang keimanan. Akan tetapi orang yang menerima kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar”. (QS. Al-Nahl, 106).
Jika kondisi tidak memaksa dan tidak ada pengaruh sama sekali terhadap karir, jabatan, hak-hak, atau perlakuan orang-orang Nasrani sekelilingnya, maka tidak diperbolehkan baginya mengucapkan Selamat Natal.
Kita ikut yang mana?
Menurut kami, pendapat ketiga ini lebih kuat karena menetapkan hukum sesuai dengan situasi dan kondisi. Pertama, persoalan hukum yang bersifat ijtihadi (debatable dan tidak ada dalil secara langsung), maka keputusannya tidak boleh “hitam” dan “putih”, tanpa mempertimbangkan situasi dan kondisi yang mengitarinya. Ini merupakan prinsip Ushul Fiqh.
Kedua, dalam kaidah fiqh ditegaskan: keluar dari kungkungan khilaf (perbedaan pendapat) merupakan anjuran syariat. Artinya, jika kita berpegang pada pendapat yang mengharamkan saja, berarti kita menafikan pendapat yang menganjurkan, dan begitu sebaliknya. Maka pendapat ketiga (yang mempertimbangkan sikon), adalah solusi agar kita keluar dari kungkungan khilaf tersebut. Wallahu a’lam.
A. Mubarok Yasin, Pengasuh Rubrik Tanya Jawab Fiqh Tebuirengonline
Label: Bahtsul Masail Fikih Islam Fiqh

0 Response to "Hukum Mengucapkan Selamat Natal"

Tulis komentar anda

Silahkan Berkomentar dengan Baik dan Sopan, Terimakasih

Terpopuler

Biografi Singkat Abuya Nurhasanuddin bin Abdul Latif Pengasuh Pondok Pesantren Darussa'adah Malang

Biografi Singkat Abuya Nurhasanuddin bin Abdul Latif Pengasuh Pondok Pesantren Darussa'adah Malang Abuya Nurhasanuddin lahi...
read

Lafadz HINDUN ( هِنْدٌ ) Termasuk pada Isim Munshorif apa Isim Ghoiru Munshorif ??

Pertanyaan: Lafadz  هندٌ  itu termasuk isim  munshorif atau isim  ghoiru  munshorif , jika termasuk isim ghoiru munshorif mengapa dit...
read

Download ebook Kunuzussa'adah pdf | Ma'had Darussa'adah Al-Islamy

     Assalamu'alaikum Wr.  Wb.      Para cendekia sekalian pada kali ini kami akan berbagi file dokumen Kunuzussa'adah   (pdf)...
read

Alfiyah Ibnu Malik (Keutamaan dan Ringkas Nadhomnya)

Masih di dalam BAB MUQODDIMAH Alfiyah Ibnu Malik,  Bismillahirrohmanirrohim, Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarokatuh. Alfiyah ...
read

Penjelasan ringkas syair - عَرَفْتُ الشَّرَّ لَا لِلشَّرِّ | Cendekiawan Santri

sebagian ahli syair menyatakan : عَرَفْتُ الشَّرَّ لاَ لِلشَّرِّ وَلَكِنْ لِتَوْقِيْهِ وَمَنْ لَمْ يَعْرِفِ الْخَيْرَ مِنَ الشَّرِّ ...
read

Find Us Facebook

Design by Desain Profesional