Cendekiawan Santri - Mudzakaroh dan Musyawarah serta Bahtsul Masail Seputar Ilmu Syariat Islam

Cendekiawan Santri - Mudzakaroh dan Musyawarah serta Bahtsul Masail Seputar Ilmu Syariat Islam
M E N U
  • HOME
  • BIOGRAFI ULAMA'
  • BAHTSUl MASAIL
  • Info & Berita Islami
  • Kajian
  • _Tajwid
  • _Bahasa Arab
  • _Shorrof
  • _Nahwu
  • _Fiqh
  • _Tasawwuf
  • _Ibroh
  • _Lirik dan Syair
  • Amalan Harian
  • Cerpen & Novel
  • _Cerpen Cerdas
  • _Cerpen Islami
  • _Novel islami
  • _Mimpi di atas Awan
  • _Tanda Titik
  • _Azwidatul Azkiya'
  • Bisnis Online

JADWAL UPDATE ARTIKEL

  • SENIN: Biografi Ulama' (Informasi & Cerita)
  • SELASA: Fiqh & Hadits
  • RABU: Bahasa Arab, Nahwu & Shorrof
  • KAMIS: Al Qur'an (Tajwid)
  • SABTU: Ibroh & Lirik Sya'ir
  • AHAD: Amalan Harian

Home » Bahtsul Masail

Bahtsul Masail Hadits

Mengupas Tentang Prahara Jumat 15 Ramadhan

          Assalamualaikum para sahabat CS sekalian, karena ada dari kalian yang ngeDM al-faqir via WA mengenai terjadinya sesuatu ditanggal 15 Ramadhan yang bertepatan hari jum'at ini, dan meminta tanggapan.



          Akhirnya al-faqir memutuskan untuk membahas disini saja. Simak baik-baik ya! jangan lupa jika ada pertanyaan atau kritikan tulis aja dikomentar.

          Al-faqir disini membahas sebuah hadist tentang terjadinya teriakan keras pada saat tanggal 15 Ramadhan bertepatan hari atau malam Jum'at yang mendadak viral.

          Karena Ramadhan kali ini ya memang pas pertengahan Ramadhan malam jum'at, mungkin itu juga yang menjadi salah satu pemicu viral.

          Sebelumnya kita harus tau siapa perawi hadist tersebut, karena jika ingin dijadikan hujjah harus perawi yang tsiqah. Sedangkan hadist ini disampaikan oleh Nu'aim bin Hammad.

          Jadi siapa Nu'aim bin Hammad? Beliau adalah pengarang kitab Al-Fitan, Ahli hadist banyak yang mengkritik beliau, salah satunya Imam An-Nasa'i pernah mengatakan "Dia adalah orang yang lemah".

          Sedangkan mengenai hadistnya yang sedang viral ini banyak Ulama' yang mengatakan Dho'if bahkan ada yang mengatakan Palsu. karena disanadnya sendiri banyak yang tidak dapat diterima untuk lebih mendalami ini kalian bisa mempelajari di Mustolah Hadist.

          So jadi warga yang cerdas para sahabat CS sekalian, Sharing dulu sebelum Saring, tetap jangan panik. Dan pastinya tetap giat ibadah ya meski dalam Pandemi Covid-19 ini.
read more
Bahtsul Masail Fikih Islam Fiqh Hadits Hadits tentang Ramadhan

Hukum Memperingati dan Merayakan Isro' Mi'roj Nabi Muhammad SAW

Hukum Memperinati dan Merayakan Isro' Mi'roj Nabi Muhammad SAW - Cendekiawan Santri

Isra Mi’raj dan Hukum Memperingatinya
Oleh : Ust. Mahfudz
(Sekretaris LBM NU Lampung)

DI bulan ini, yaitu Bulan Rajab, kaum muslimin biasa memperingati satu peristiwa yang sangat luar biasa, yaitu peristiwa perjalanan Rasulullah SAW dari Makkah ke Baitul Maqdis, kemudian naik ke Sidratul Muntaha menghadap Pencipta Alam Semesta.

Peristiwa ini tidak akan dilupakan kaum muslimin. Karena pada Isra Mi’raj ini lah turunnya perintah Allah untuk mengerjakan sholat lima waktu.

Untuk memperingati dan memaknai peristiwa yang luar biasa tersebut, biasanya kaum muslim mengadakan sebuah kajian. Taffakur, pengajian, dzikir dan acara-acara lain yang berkaitan dengan pemaknaan Isra Mi’raj itu sendiri dalam rangka menanamkan rasa kebanggaan serta menumbuhkan rasa kecintaan dengan ajaran Islam dalam hati para pemeluknya.

Peringatan Isra Miroj Nabi Muhammad SAW adalah sebuah momentum penting bagi umat Islam di seluruh dunia. Selain sebagai bentuk rasa syukur, bahagia dan bangga atas diutusnya Nabi Muhammad SAW yang membawa petunjuk sepanjang zaman, juga sebagai ajang mempererat persatuan dan kesatuan umat Islam.

Kalau ada sebagian golongan yang mengatakan bahwa memperingati Isra Mi’raj hukumnya bid’ah, itu adalah hak mereka.

Menurut hemat kami, peringatan Isra Mi’raj bisa disamakan dengan peringatan Maulid Nabi. Jika Nabi Muhammad SAW sendiri dan para sahabat tidak pernah melakukannya bukan berarti hal tersebut tidak diperbolehkan berdasarkan satu qoidah fiqhiyyah:

الأَصْلُ فِي العَادَاتِ وَالُمعاَمَلاتِ الإِبَاحَةُ حَتَّى يَدُلَّ الدَّلِيْلُ عَلَى التَّحْرِيْمِ

“Hukum asli adad dan mu’amalat adalah boleh, sehingga ada dalil yang menunjukkan keharamannya”.

Peringatan-peringatan seperti Isra Miraj, Maulid Nabi, dan Tahun Baru Hijriyyah adalah sebuah budaya atau tradisi masyarakat bukan sebuah Ibadah, sehingga penilaian yang ada hanya berkisar dicintai atau dibenci oleh syari’.

Sementara Rasulullah SAW telah bersabda,

مَنْ سَنَّ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ فَعَلَ بِهَا مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْئًا, وَمَنْ سَنَّ سُنَّةً سَيِّئَةً فَعَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ فَعَلَ بِهَا مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْئًا.

“Barang siapa menciptakan tradisi baru yang bagus, maka ia akan mendapat pahalanya dan pahala orang yang ikut mengerjakannya, dengan tanpa mengurangi sedikitpun dari pahala mereka dan barang siapa yang menciptakan tradisi baru yang jelek, maka ia akan mendapat dosanya dan dosa orang yang ikut mengerjakannya, dengan tanpa mengurangi sedikitpun dari dosa mereka.”

Hadits ini jelas merupakan anjuran untuk bisa kreatif, maksudnya setiap orang islam dianjurkan oleh Rasulullah saw agar bisa mengembangkan apa saja yang sudah disampaikan dan diajarkan oleh beliau, baik melalui kalam Illahi atau sunnah Rasulullah SAW, tidak peduli dengan tata cara, model prilaku, ketentuan, tindakan atau peraturan apapun, asal tidak keluar dari riel dan koredor syar’i.

Misalnya Rasulullah SAW perintah agar umatnya bersedekah. Apakah sesat kalau mereka membuat nasi tumpeng dan ingkung ayam terus disedekahkan? Misalnya lagi, Rasulullah memerintahkan umatnya agar menuntut ilmu, membaca Alquran dan bersilaturrahim. Apakah sesat kalau mereka membentuk jama’ah yasin dan tahlil, jama’ah khotmil Quran, jama’ah istighotsah dan lain-lain, sebagai wadah untuk mempererat tali silaturrahim, mempererat ukhuwwah islamiyyah, dan sebagai lahan bagi mereka untuk menimbah ilmu, membaca Alqur’an dan bersedekah?

Tentu jawaban dari semua itu adalah tidak sesat. Begitupun peringatan-peringatan seperti Isra Miraj dan Maulid Nabi adalah sebuah tradisi masyarakat, sebagai wujud rasa syukur terhadap al-Kholiq dan rasa mahabbah terhadap Rasul dan kekasih-Nya.

Kiranya hanya ini yang bisa saya tulis, mudah-mudahan bermanfaat. Silahkan kunjungi situs-situs lain yang menganggap bahwa peringatan-peringatan seperti Maulid Nabi, Isra Miraj bukanlah bid’ah, mungkin akan anda temukan dalil-dalil lain yang dapat menguatkan dalil-dalil yang ada di sini.

Wallahualam.(*)
read more
Bahtsul Masail Fikih Islam Fiqh Hadits

Peristiwa Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad di Langit Pertama

Untuk pertama kalinya dalam sejarah peradaban manusia, ada seseorang yang berdiri di pintu-pintu langit. Kemudian memasukinya. Dan bertemu dengan mereka yang ada di dalamnya. Orang tersebut adalah Muhammad bin Abdullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

isra miraj langit pertama cendekiwan santri

Tiba di Langit Dunia


Langit pertama yang juga dikenal dengan langit dunia adalah persinggahan berikutnya Nabi Muhammad. Sebelumnya, beliau mengendari Burak dari Mekah menuju Jerusalem. Setelah itu beranjak menaiki tangga menuju langit pertama.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

فَانْطَلَقَ بِي جِبْرِيلُ حَتَّى أَتَى السَّمَاءَ الدُّنْيَا فَاسْتَفْتَحَ، فَقِيلَ: مَنْ هَذَا؟ قَالَ: جِبْرِيلُ. قِيلَ: وَمَنْ مَعَكَ؟ قَالَ: مُحَمَّدٌ. قِيلَ: وَقَدْ أُرْسِلَ إِلَيْهِ؟ قَالَ: نَعَمْ. قِيلَ: مَرْحَبًا بِهِ فَنِعْمَ المَجِيءُ جَاءَ فَفَتَحَ

Kemudian Jibril beranjak bersamaku hingga kami tiba di langit dunia. Ia meminta dibukakan. Penjaga langit pertama bertanya, “Siapa?” “Jibril”, jawabnya. Ia kembali bertanya, “Siapa yang bersamamu?” Jibril menjawab, “Muhammad.”

“Apakah ia diutus kepada-Nya”, tanyanya lagi. “Iya”, jawab Jibril. Malaikat itu berkata, “Selamat datang. Sebaik-baik orang yang datang telah tiba.” Ia pun membuka (pintu langit).

Untuk pertama kalinya dalam sejarah peradaban manusia seorang manusia, dalam keadaan hidup, berdiri di pintu-pintu langit. Menunggu pintu-pintu itu dibukakan untuknya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam paham betul bahwa langit-langit itu memiliki pintu. Sebagaimana firman Allah Ta’ala tatkala menyifati orang-orang kafir.

لاَ تُفَتَّحُ لَهُمْ أَبْوَابُ السَّمَاءِ

“Sekali-kali tidak akan dibukakan bagi mereka pintu-pintu langit…” [Quran Al-A’raf: 40].

Dan firman Allah ketika mengisahkan kebinasaan kaum Nabi Nuh ‘alaihissalam.

فَفَتَحْنَا أَبْوَابَ السَّمَاءِ بِمَاءٍ مُنْهَمِرٍ

“Maka Kami bukakan pintu-pintu langit dengan (menurunkan) air yang tercurah.” [Quran Al-Qamar: 11].

Karena itu, ketika berdiri di depan pintu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“فَضَرَبَ -أي جبريل- بَابًا مِنْ أَبْوَابِهَا..”.

“Dia mengetuk -yaitu Jibril- pintu-pintu…”

Akan tetapi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengabarkan kepada kita tentang pintu tersebut. Bagaimana bentuknya. Warnanya. Dan sifat-sifatnya. Karena itu, kita pun tidak berkepentingan menerka-nerka dan membayangkan bagaimana bentuk pintu-pintu langit itu.

Penjaga pintu langit itu menanyakan siapa yang mengetuk. Hal ini menunjukkan yang di dalam langit tidak mengetahui siapa yang berada di luar. Atau penjaga langit itu tidak mengenal perwujudan Jibril dalam bentuk manusia ketika itu. Ketika Jibril menyebutkan dirinya, ia bertanya tentang siapa yang bersamanya. Dalam riwayat al-Bukhari dari Abu Dzar, penjaga langit itu bertanya,

هَلْ مَعَكَ أَحَدٌ؟

“Apakah engkau bersama seseorang?”

Dari riwayat ini, kita bisa memahami penjaga langit tidak melihat siapa yang di luar. Jibril pun menjawab,

نَعَمْ مَعِي مُحَمَّدٌ

“Iya, aku bersama Muhammad.”

Jawaban ini merupakan bentuk pengagungan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena ini menunjukkan bahwa penghuni langit mengenal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Sebelum peristiwa ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan kepada kita sifat langit dunia. Sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu:

“إِذَا قَضَى اللهُ الأَمْرَ فِي السَّمَاءِ، ضَرَبَتِ المَلاَئِكَةُ بِأَجْنِحَتِهَا خُضْعَانًا لِقَوْلِهِ، كَأَنَّهُ سِلْسِلَةٌ عَلَى صَفْوَانٍ، فَإِذَا فُزِّعَ عَنْ قُلُوبِهِمْ قَالُوا: مَاذَا قَالَ رَبُّكُمْ؟ قَالُوا لِلَّذِي قَالَ: الحَقَّ، وَهُوَ العَلِيُّ الكَبِيرُ. فَيَسْمَعُهَا مُسْتَرِقُ السَّمْعِ، وَمُسْتَرِقُ السَّمْعِ هَكَذَا بَعْضُهُ فَوْقَ بَعْضٍ -وَوَصَفَ سُفْيَانُ (هو سفيان بن عيينة أحد رواة الحديث) بِكَفِّهِ فَحَرَفَهَا، وَبَدَّدَ بَيْنَ أَصَابِعِهِ- فَيَسْمَعُ الكَلِمَةَ فَيُلْقِيهَا إِلَى مَنْ تَحْتَهُ، ثُمَّ يُلْقِيهَا الآخَرُ إِلَى مَنْ تَحْتَهُ، حَتَّى يُلْقِيَهَا عَلَى لِسَانِ السَّاحِرِ أَوِ الكَاهِنِ، فَرُبَّمَا أَدْرَكَ الشِّهَابُ قَبْلَ أَنْ يُلْقِيَهَا، وَرُبَّمَا أَلْقَاهَا قَبْلَ أَنْ يُدْرِكَهُ، فَيَكْذِبُ مَعَهَا مِائَةَ كَذْبَةٍ، فَيُقَالُ: أَلَيْسَ قَدْ قَالَ لَنَا يَوْمَ كَذَا وَكَذَا: كَذَا وَكَذَا. فَيُصَدَّقُ بِتِلْكَ الكَلِمَةِ الَّتِي سَمِعَ مِنَ السَّمَاءِ.

“Apabila Allah memutuskan sebuah perintah di langit, para malaikat menundukkan sayap-sayap mereka dengan penuh takut, bagaikan suara rantai yang ditarik di atas batu putih. Apabila telah hilang rasa takut dari hati mereka, mereka bertanya, ‘Apa yang dikatakakan oleh Tuhan kalian?’ Jibril menjawab, ‘Tentang kebenaran dan Ia Maha Tinggi lagi Maha Besar’. Lalu para pencuri berita langit (setan) mendengarnya. Mereka para pencuri berita langit itu sebagian mereka di atas sebagian yang lain.

-Sufyan (rawi hadits) mencontohkan dengan jari-jarinya- yang paling di atas mendengar sebuah kalimat lalu membisikannya kepada yang di bawahnya. Kemudian selanjutnya ia membisikan lagi kepada yang di bawahnya. Dan begitu seterusnya sampai ia membisikannya kepada tukang sihir atau dukun. Kadang-kadang ia disambar oleh bintang berapi sebelum menyampaikannya atau ia telah menyampaikannya sebelum ia disambar oleh bintang berapi. Kemudian setan mencampur berita tersebut dengan seratus kebohongan. Orang-orang berkomentar: bukankah ia telah berkata kepada kita pada hari ini dan ini… maka ia dipercaya karena satu kalimat yang pernah ia dengan langit tersebut’.” (HR. al-Bukhari, 4/1804 (4522)).

Peristiwa mendengar ini terjadi ketika diutusnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Firman Allah Ta’ala:

فَمَنْ يَسْتَمِعِ الآنَ يَجِدْ لَهُ شِهَابًا رَصَدًا

“Tetapi sekarang barangsiapa yang (mencoba) mendengar-dengarkan (seperti itu) tentu akan menjumpai panah api yang mengintai (untuk membakarnya).” [Quran Jin: 9]

Dan firman Allah Ta’ala:

إِنَّا زَيَّنَّا السَّمَاءَ الدُّنْيَا بِزِينَةٍ الْكَوَاكِبِ (6) وَحِفْظًا مِنْ كُلِّ شَيْطَانٍ مَارِدٍ (7) لاَ يَسَّمَّعُونَ إِلَى الْمَلإِ الأَعْلَى وَيُقْذَفُونَ مِنْ كُلِّ جَانِبٍ (8) دُحُورًا وَلَهُمْ عَذَابٌ وَاصِبٌ (9) إِلاَّ مَنْ خَطِفَ الْخَطْفَةَ فَأَتْبَعَهُ شِهَابٌ ثَاقِبٌ

“Sesungguhnya Kami telah menghias langit yang terdekat dengan hiasan, yaitu bintang-bintang, dan telah memeliharanya (sebenar-benarnya) dari setiap syaitan yang sangat durhaka, syaitan syaitan itu tidak dapat mendengar-dengarkan (pembicaraan) para malaikat dan mereka dilempari dari segala penjuru. Untuk mengusir mereka dan bagi mereka siksaan yang kekal, akan tetapi barangsiapa (di antara mereka) yang mencuri-curi (pembicaraan); maka ia dikejar oleh suluh api yang cemerlang.” [Quran Ash-Shaffat: 6-10].

Berangkatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ke langit merupakan peristiwa istimewa. Karena itu, penjaga pintu langit menyambut beliau dengan bahagia dan mengucapkan, “Selamat datang. Sebaik-baik orang yang datang telah tiba.”

Namun demikian, rasa bahagia penyambutan Nabi ini tidak membuat mereka luput dari amanah dalam menjaga pintu langit. Mereka tetap bertanya, “Apakah dia diutus kepada-Nya?” Padahal Jibril adalah pemimpin mereka. Pemimpin mereka membawa manusia yang mereka kenal sebagai manusia mulia. Yang tidak mungkin kedatangan manusia sampai ke pintu langit dan didampingi Jibril, pasti atas izin Allah. Tapi mereka tetap menanyakan hal itu. Hal ini menunjukkan betapa malaikat tidak memaksiati Allah dalam tugas-tugas yang Allah berikan pada mereka.

يَخَافُونَ رَبَّهُمْ مِنْ فَوْقِهِمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ

“Mereka takut kepada Tuhan mereka yang di atas mereka dan melaksanakan apa yang diperintahkan (kepada mereka).” [Quran An-Nahl: 50].

Kemudian penjagan pintu langit pun membukakan pintu. Jibril memasuki langit pertama bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di sini, Nabi Muhammad berjumpa dengan bapak manusia, Adam ‘alaihissalam.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan:

فَلَمَّا فَتَحَ عَلَينَا السَّمَاءَ الدُّنْيَا فَإِذَا رَجُلٌ قَاعِدٌ عَلَى يَمِينِهِ أَسْوِدَةٌ، وَعَلَى يَسَارِهِ أَسْوِدَةٌ، إِذَا نَظَرَ قِبَلَ يَمِينِهِ ضَحِكَ، وَإِذَا نَظَرَ قِبَلَ يَسَارِهِ بَكَى، فَقَالَ: مَرْحَبًا بِالنَّبِيِّ الصَّالِحِ وَالاِبْنِ الصَّالِحِ. قُلْتُ لِجِبْرِيلَ: مَنْ هَذَا؟ قَالَ: هَذَا آدَمُ، وَهَذِهِ الأَسْوِدَةُ عَنْ يَمِينِهِ وَشِمَالِهِ نَسَمُ بَنِيهِ، فَأَهْلُ اليَمِينِ مِنْهُمْ أَهْلُ الجَنَّةِ، وَالأَسْوِدَةُ الَّتِي عَنْ شِمَالِهِ أَهْلُ النَّارِ، فَإِذَا نَظَرَ عَنْ يَمِينِهِ ضَحِكَ، وَإِذَا نَظَرَ قِبَلَ شِمَالِهِ بَكَى

Ketika pintu langit dibukakan untuk kami, ternyata ada seseorang yang sedang duduk. Di sebelah kananya terdapat sekelompok besar orang. Demikian juga di sebelah kirinya. Apabila ia menoleh ke sebelah kanan, ia tersenyum. Saat menoleh ke sebelah kiri, ia menangis.

Lalu orang itu berkata, ‘Selamat datang Nabi yang shalih dan anak yang shalih.’ Aku bertanya kepada Jibril, ‘Siapakah dia?’ Jibril menjawab, Dialah Adam Alaihis Salam, dan orang-orang yang ada di sebelah kanan dan kirinya adalah ruh-ruh anak keturunannya. Mereka yang ada di sebelah kanannya adalah para ahli surga sedangkan yang di sebelah kirinya adalah ahli neraka. Jika dia memandang ke sebelah kanannya dia tertawa dan bila memandang ke sebelah kirinya dia menangis.’ (HR. al-Bukhari dalam Kitab ash-Shalah (342)).

Pertemuan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan Nabi Adam ‘alaihissalam di langit pertama merupakan penggambaran yang jelas. Adam adalah manusia pertama. Ia adalah ayah dari semua manusia. Termasuk para nabi. Ia berjumpa dengan putranya yang paling mulia, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau termasuk orang yang paling berbahagia dengan kemuliaan keturunannya ini. Kegembiraan itu terlihat dari ucapan beliau:

مَرْحَبًا بِالنَّبِيِّ الصَّالِحِ وَالاِبْنِ الصَّالِحِ

“Selamat datang Nabi yang shalih dan anak yang shalih.”

Dalam riwayat lain disebutkan:

مَرْحَبًا وَأَهْلاً بِابْنِي، نِعْمَ الاِبْنُ أَنْتَ

“Selamat datang wahai anakku. Engkau adalah sebaik-baik anak.” (HR. al-Bukhari dalam Kitab at-Tauhid (7079)).

Peristiwa yang menjadi perhatian dalam pertemuan Nabi Muhammad dengan Nabi Adam adalah berkumpulnya semua ruh manusia di sekitar Nabi Adam. Ruh-ruh penghuni surga berkumpul di sebelah kanan beliau. Sedangkan ruh-ruh penghuni neraka berada di sisi kirinya. Beliau tersenyum dan menangis. Senyuman beliau adalah ekspresi kebahagiaan. Sedang tangis beliau adalah wujud kasih sayang beliau terhadap anak-anaknya yang akan menemui tempat kembali yang buruk.

Bisa jadi juga beliau merasa bersalah karena beliau menjadi lantaran manusia turun ke bumi. Sehingga manusia berhadapan dengan ujian. Dan mereka gagal menghadapi ujian tersebut. Makna inilah yang beliau ungkapkan ketika berhadapan dengan manusia di Padang Mahsyar kelak. Beliau berkata,

وَهَلْ أَخْرَجَكُمْ مِنَ الجَنَّةِ إِلاَّ خَطِيئَةُ أَبِيكُمْ آدَمَ، لَسْتُ بِصَاحِبِ ذَلِكَ..

“Bukankah yang mengeluarkan kalian dari surga adalah kesalahan ayah kalian Adam. Aku tak layak memberi syafaat untuk kalian…” (HR. Muslim dalam Kitab al-Iman (195)).

Melihat 3 Sungai Surga

Di antara hal lainnya yang dilihat Nabi shallallahu antara langit pertama dan langit kedua adalah tiga sungai besar. Ketiga sungai itu adalah Sungai Nil, Sungai Eufrat, dan al-Kautsar.

فَإِذَا هُوَ فِي السَّمَاءِ الدُّنْيَا بِنَهَرَيْنِ يَطَّرِدَانِ، فَقَالَ: مَا هَذَانِ النَّهَرَانِ يَا جِبْرِيلُ؟ قَالَ: هَذَا النِّيلُ وَالْفُرَاتُ عُنْصُرُهُمَا. ثُمَّ مَضَى بِهِ فِي السَّمَاءِ، فَإِذَا هُوَ بِنَهَرٍ آخَرَ عَلَيْهِ قَصْرٌ مِنْ لُؤْلُؤٍ وَزَبَرْجَدٍ، فَضَرَبَ يَدَهُ فَإِذَا هُوَ مِسْكٌ أَذْفَرُ، قَالَ: مَا هَذَا يَا جِبْرِيلُ؟ قَالَ: هَذَا الكَوْثَرُ الَّذِي خَبَأَ لَكَ رَبُّكَ

“Ternyata di langit dunia ada dua sungai yang mengalir, Nabi Muhammad bertanya, ‘Dua sungai apa ini wahai Jibril? ‘ Jibril menjawab, ‘Ini adalah Nil dan Eufrat.’ Kemudian Jibril terus membawa Nabi ke langit, tiba-tiba ada sungai lain yang di atasnya ada istana dari mutiara dan intan, Nabi memukulnya dengan tangannya, tiba-tiba baunya seperti minyak wangi adlfar. Nabi bertanya, ‘Ini apa wahai Jibril? ‘ Jibril menjawab, ‘Ini adalah telaga al Kautsar yang sengaja disimpan oleh Tuhanmu untukmu’.” (HR. al-Bukhari dalam Kitab at-Tauhid (7079)).

Dalam perjalanan ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat tiga sungai. Yang pertama dan kedua adalah Sungai Nil dan Eufrat. Keduanya akan beliau lihat kembali di langit ketujuh. Adapun al-Kautsar adalah sungai yang istimewa. Ia adalah hadiah yang Allah berikan kepada Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Airnya harum bak misik. Bahkan lebih hebat lagi. Ia merupakan sungai di antara sungai-sungai surga.
read more
akhlaq Bahtsul Masail Fikih Islam Fiqh

Tanggapan Kyai NU Jawa Timur Soal Hukum Ucapkan Selamat Natal


JEMBER - Semoga masih belum terlambat demi menyampaikan sebuah kebenaran, kami menilai perlunya penjelasan KH.Muhammad Idrus Ramli (Pengus Lajnah wan Nasyr PWNU Jawa Timur & Sekertaris LBM NU Jember) soal ucapan selamat natal
HUKUM UCAPAN SELAMAT NATAL
Oleh : KH.Muhammad Idrus Ramli
(Pengus Lajnah wan Nasyr PWNU Jawa Timur & Sekertaris LBM NU Jember)
Sebelum menjelaskan hukum ucapan selamat natal, ada beberapa pertimbangan yang perlu dipikirkan; 
Pertama, ucapan selamat biasanya diucapkan ketika seseorang bersuka cita atau menerima kesenangan yang dibenarkan dalam agama seperti ketika hari raya idul fitri, kelahiran anak, pernikahan dan lain-lain. Hal ini seperti kita baca dalam kitab Wushul al-Amani fi Ushul al-Tahani, karya al-Hafizh Jalaluddin al-Suyuthi, dalam himpunan kitabnya al-Hawi lil-Fatawi juz 1.
Kedua, ucapan selamat juga diucapkan ketika seseorang bersuka cita karena menerima kenikmatan atau terhindar dari malapetaka, seperti dikemukakan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar
al-‘Aqalani dalam kitabnya, Juz’ fi al-Tahni’ah bil-A’yad.
Dalam konteks ini beliau berkata:
ﻳﺴﺘﺪﻝ ﻟﻌﻤﻮﻡ ﺍﻟﺘﻬﻨﺌﺔ ﻟﻤﺎ ﻳﺤﺪﺙ ﻣﻦ ﺍﻟﻨﻌﻢ ﺍﻭ ﻳﻨﺪﻓﻊ ﻣﻦ ﺍﻟﻨﻘﻢ ﺳﺠﻮﺩ ﺍﻟﺸﻜﺮ ﻟﻤﻦ ﻳﻘﻮﻝ ﺑﻪﻭﻫﻮ ﺍﻟﺠﻤﻬﻮﺭ ﻭﻣﺸﺮﻭﻋﻴﺔ ﺍﻟﺘﻌﺰﻳﺔ ﻟﻤﻦ ﺃﺻﻴﺐ ﺑﺎﻹﺧﻮﺍﻥ . )ﺍﻟﺤﺎﻓﻆ ﺍﺑﻦ ﺣﺠﺮ، ﺟﺰﺀ ﻓﻲ ﺍﻟﺘﻬﺌﺔﻓﻲ ﺍﻷﻋﻴﺎﺩ، ﺹ 46 )
“Keumuman ucapan selamat terhadap kenikmatan yang terjadi atau malapetaka yang terhindar menjadi dalil sujud syukur bagi orang yang berpendapat demikian, yaitu mayoritas ulama dan dianjurkannya bertakziyah bai orang-orang yang ditimpa malapetaka.” (Al-Hafizh Ibnu Hajar, Juz’ fi al-Tahni’ah fil-‘Id, hal. 46).
Ketiga, para ulama menganggap hari raya non Muslim, bukan termasuk hari raya yang baik dan mendatangkan kebaikan bagi umat Islam. Dalam konteks ini al-Hafizh Jalaluddin al-Suyuthi berkata dalam kitabnya al-Amru bil-Ittiba’ wa al-Nahyu ‘anin al-Ibtida’ sebagai berikut:
ﻭﻣﻦ ﺍﻟﺒﺪﻉ ﻭﺍﻟﻤﻨﻜﺮﺍﺕ ﻣﺸﺎﺑﻬﺔ ﺍﻟﻜﻔﺎﺭ ﻭﻣﻮﺍﻓﻘﺘﻬﻢ ﻓﻲ ﺃﻋﻴﺎﺩﻫﻢ ﻭﻣﻮﺍﺳﻤﻬﻢ ﺍﻟﻤﻠﻌﻮﻧﺔ ﻛﻤﺎﻳﻔﻌﻠﻪ ﻛﺜﻴﺮ ﻣﻦ ﺟﻬﻠﺔ ﺍﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ ﻣﻦ ﻣﺸﺎﺭﻛﺔ ﺍﻟﻨﺼﺎﺭﻯ ﻭﻣﻮﺍﻓﻘﺘﻬﻢ ﻓﻴﻤﺎ ﻳﻔﻌﻠﻮﻧﻪ ﻓﻲ ﺧﻤﻴﺲﺍﻟﺒﻴﺾ ﺍﻟﺬﻱ ﻫﻮ ﺍﻛﺒﺮ ﺍﻋﻴﺎﺩ ﺍﻟﻨﺼﺎﺭﻯ )ﺍﻟﺤﺎﻓﻆ ﺟﻼﻝ ﺍﻟﺪﻳﻦ ﺍﻟﺴﻴﻮﻃﻲ، ﺍﻷﻣﺮ ﺑﺎﻻﺗﺒﺎﻉ ﻭﺍﻟﻨﻬﻲﻋﻦ ﺍﻻﺑﺘﺪﺍﻉ ﺹ 141 
Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka selayaknya ucapan selamat natal dihukumi haram dan harus dihindari oleh umat Islam. Dalam konteks ini, Ibnu Qayyim al-Jauziyyah al-Hanbali berkata:
ﻭﺃﻣﺎ ﺍﻟﺘﻬﻨﺌﺔ ﺑﺸﻌﺎﺋﺮ ﺍﻟﻜﻔﺮ ﺍﻟﻤﺨﺘﺼﺔ ﺑﻪ ﻓﺤﺮﺍﻡ ﺑﺎﻻﺗﻔﺎﻕ ﻣﺜﻞ ﺃﻥ ﻳﻬﻨﺌﻬﻢ ﺑﺄﻋﻴﺎﺩﻫﻢ ﻭﺻﻮﻣﻬﻢﻓﻴﻘﻮﻝ ﻋﻴﺪ ﻣﺒﺎﺭﻙ ﻋﻠﻴﻚ ﺃﻭ ﺗﻬﻨﺄ ﺑﻬﺬﺍ ﺍﻟﻌﻴﺪ ﻭﻧﺤﻮﻩ ﻓﻬﺬﺍ ﺇﻥ ﺳﻠﻢ ﻗﺎﺋﻠﻪ ﻣﻦ ﺍﻟﻜﻔﺮ ﻓﻬﻮ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﺤﺮﻣﺎﺕ ﻭﻫﻮ ﺑﻤﻨﺰﻟﺔ ﺃﻥ ﻳﻬﻨﺌﻪ ﺑﺴﺠﻮﺩﻩ ﻟﻠﺼﻠﻴﺐ ﺑﻞ ﺫﻟﻚ ﺃﻋﻈﻢ ﺇﺛﻤﺎ ﻋﻨﺪ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﺃﺷﺪ ﻣﻘﺘﺎ ﻣﻦ ﺍﻟﺘﻬﻨﺌﺔ ﺑﺸﺮﺏ ﺍﻟﺨﻤﺮ ﻭﻗﺘﻞ ﺍﻟﻨﻔﺲ ﻭﺍﺭﺗﻜﺎﺏ ﺍﻟﻔﺮﺝ ﺍﻟﺤﺮﺍﻡ ﻭﻧﺤﻮﻩ ... ﻭﺇﻥ ﺑﻠﻲ ﺍﻟﺮﺟﻞﺑﺬﻟﻚ ﻓﺘﻌﺎﻃﺎﻩ ﺩﻓﻌﺎ ﻟﺸﺮ ﻳﺘﻮﻗﻌﻪ ﻣﻨﻬﻢ ﻓﻤﺸﻰ ﺇﻟﻴﻬﻢ ﻭﻟﻢ ﻳﻘﻞ ﺇﻻ ﺧﻴﺮﺍ ﻭﺩﻋﺎ ﻟﻬﻢ ﺑﺎﻟﺘﻮﻓﻴﻖﻭﺍﻟﺘﺴﺪﻳﺪ ﻓﻼ ﺑﺄﺱ ﺑﺬﻟﻚ ﻭﺑﺎﻟﻠﻪ ﺍﻟﺘﻮﻓﻴﻖ. ) ﺍﺑﻦ ﻗﻴﻢ ﺍﻟﺠﻮﺯﻳﺔ، ﺃﺣﻜﺎﻡ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﺬﻣﺔ 1/442 )
“Adapun ucapan selamat dengan simbol-simbol yang khusus dengan kekufuran maka adalah haram berdasarkan kesepakatan ulama, seperti mengucapkan selamat kepada kafir dzimmi dengan hari raya dan puasa mereka. Misalnya ia mengatakan, hari raya berkah buat Anda, atau Anda selamat dengan hari raya ini dan sesamanya. Ini jika yang mengucapkan selamat dari kekufuran, maka termasuk perbuatan haram. Ucapan tersebut sama dengan ucapan selamat dengan bersujud kepada salib. Bahkan demikian ini lebih agung dosanya menurut Allah dan lebih dimurkai daripada ucapan selamat atas minum khamr, membunuh seseorang, perbuatan zina yang haram dan sesamanya. ..
Apabila seseorang memang diuji dengan demikian, lalu melakukannya agar terhindar dari keburukan yang dikhawatirkan dari mereka, lalu ia datang kepada mereka dan tidak mengucapkan kecuali kata-kata baik dan mendoakan mereka agar memperoleh taufiq dan jalan benar, maka hal itu tidak lah apa-apa.” (Ibnu Qayyimil Jauziyyah, Ahkam Ahl al-Dzimmah, juz 1 hal. 442).


Pernyataan di atas menyimpulkan bahwa ucapan selamat natal, hukumnya haram dilakukan oleh seorang Muslim, karena termasuk mengagungkan simbol-simbol kekufuran menurut agamanya.
Lalu bagaimana, jika sekelompok umat Islam berpartisipasi menghadiri acara natal dengan tujuan mengamankan acara natalan??? Tentu saja, hukumnya juga haram. Al-Imam Abu
al-Qasim Hibatullah al-Thabari al-Syafi’i, seorang ulama fiqih madzhab Syafi’i berkata:
ﻗﺎﻝ ﺃﺑﻮ ﺍﻟﻘﺎﺳﻢ ﻫﺒﺔ ﺍﻟﻠﻪ ﺑﻦ ﺍﻟﺤﺴﻦ ﺑﻦ ﻣﻨﺼﻮﺭ ﺍﻟﻄﺒﺮﻱ ﺍﻟﻔﻘﻴﻪ ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻲ ﻭﻻ ﻳﺠﻮﺯﻟﻠﻤﺴﻠﻤﻴﻦ ﺃﻥ ﻳﺤﻀﺮﻭﺍ ﺃﻋﻴﺎﺩﻫﻢ ﻷﻧﻬﻢ ﻋﻠﻰ ﻣﻨﻜﺮ ﻭﺯﻭﺭ ﻭﺇﺫﺍ ﺧﺎﻟﻂ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﻤﻌﺮﻭﻑ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﻤﻨﻜﺮﺑﻐﻴﺮ ﺍﻹﻧﻜﺎﺭ ﻋﻠﻴﻬﻢ ﻛﺎﻧﻮﺍ ﻛﺎﻟﺮﺍﺿﻴﻦ ﺑﻪ ﺍﻟﻤﺆﺛﺮﻳﻦ ﻟﻪ ﻓﻨﺨﺸﻰ ﻣﻦ ﻧﺰﻭﻝ ﺳﺨﻂ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻰ
ﺟﻤﺎﻋﺘﻬﻢ ﻓﻴﻌﻢ ﺍﻟﺠﻤﻴﻊ ﻧﻌﻮﺫ ﺑﺎﻟﻠﻪ ﻣﻦ ﺳﺨﻄﻪ
“Telah berkata Abu al-Qasim Hibatullah bin al-Hasan bin anshur al-Thabari, seorang faqih bermadzhab Syafi’i: “Kaum Muslimin tidak boleh (haram) menghadiri hari raya non Muslim, karena mereka melakukan kemunkaran dankebohongan. Apabila orang baik bercampur dengan orang yang melakukan kemungkaran, tanpa melakukan keingkaran kepada mereka, maka berarti mereka rela dan memilih (mendahulukan) kemungkaran tersebut., maka dikhawatirkan turunnya kemurkaan Allah atas jamaah mereka (non-Muslim), lalu menimpa seluruhnya, kita berlindung dari murka Allah.”
Bagaimana jika ada orang berkata, tidak apa-apa mengucapkan selamat natal, dengan tujuan selamat atas lahirnya Nabi Isa ‘alaihissalam? Ucapan orang ini perlu dipertanyakan. Kepada siapa Anda memberikan fatwa tersebut? Kepada orang yang bershalawat kepada Nabi Muhammad shalllallahu ‘alaihi wasallam dan nabi-nabi lainnya yang iducapkan di rumahnya dan bukan pada hari natal? Secara jujur saja, kepada siapa dia mengucapkan selamat natal? Apakah kepada Isa ‘alaihissalam, secara khusus, tanpa diucapkan kepada non-Muslim??? Atau selamat natal diucapkan kepada non-Muslim pada hari raya mereka???
Tulisan ini perlu disempurnakan oleh para pembaca.
Wallahu a’lam.
Wassalam
Muhammad Idrus Ramli,
Alhamdulillah masih ada NU yg masih lurus
read more
Bahtsul Masail Fikih Islam Fiqh

Hukum Mengucapkan Selamat Natal


PERTANYAAN
Bagaimana hukum mengucapkan selamat Natal kepada umat Kristiani?
JAWABAN
Terdapat perbedaan pendapat seputar hukum mengucapkan selamat Natal. Perbedaan tersebut mengerucut kepada satu hal, apakah ucapan selamat Natal termasuk kategori akidah (keyakinan) atau muamalah (pergaulan)? Jika dikategorikan akidah, berarti ucapan itu merupakan doa dan kerelaan atas agama orang lain. Bila dikategorikan muamalah, maka ucapan tersebut justru dianjurkan karena merupakan wujud toleransi yang dijunjung tinggi oleh Islam.
Yang mengharamkan
Ulama yang mengharamkan (seperti Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Syeikh Ibn Baz, Shalih al-Utsaimin, Ibrahim bin Muhammad al-Huqail, dll) berlandaskan pada ayat:
إِنْ تَكْفُرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنْكُمْ وَلَا يَرْضَى لِعِبَادِهِ الْكُفْرَ وَإِنْ تَشْكُرُوا يَرْضَهُ لَكُمْ
Artinya : “Jika kamu kafir, maka sesungguhnya Allah tidak memerlukan (iman)mu dan Dia tidak meridhai kekafiran hamba-Nya; dan jika kamu bersyukur, niscaya Dia meridhai kesyukuranmu.” (QS. Az Zumar : 7). Menurut golongan pertama ini, mengucapkan selamat Natal termasuk kategori rela terhadap kekufuran.
Dalil lainnya adalah sabda Rasulullah SAW:
خَالِفُوا الْمُشْرِكِينَ أَحْفُوا الشَّوَارِبَ وَأَوْفُوا اللِّحَى
”Bedakanlah dirimu dari orang-orang musyrik, panjangkanlah jenggot dan cukurlah kumis.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Ibn Umar ra)
Juga Hadits Nabi SAW:
« مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ ».
”Siapa yang meniru suatu kaum maka ia adalah bagian dari mereka.” (HR. Abu Dawud dai Ibnu Umar ra).
Intinya, golongan pertama ini juga menganggap hari raya sebagai syi’ar agama. Mengucapkan selamat hari raya berarti mengakui “kebenaran” agama tersebut. Padahal, menurut mereka, setiap umat memiliki hari besarnya masing-masing. Dan umat Kristiani menjadikan Natal sebagai hari besarnya. Sementara Islam sudah memiliki dua hari raya sendiri.
Diriwayatkan dari Anas bin Malik ra., “Ketika Nabi SAW tiba di Madinah, penduduk Madinah memiliki dua hari raya yang mereka bersenang-senang di dalamnya. Lalu beliau bertanya, “Dua hari apa ini?” Mereka menjawab, “Dua hari yang kami bermain-main di dalamnya pada masa Jahiliyah.” Maka Nabi SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mengganti untuk kalian dua hari tersebut dengan Idul Adha dan Idul Fitri.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad).
Nabi SAW juga pernah bersabda kepada Abu Bakar ra., “Hai Abu Bakar, setiap kaum memiliki hari raya, dan inilah hari raya kita.” (HR. Bukhari).
Alasan lainnya adalah Sadd Al-Dzarî’ah atau memutus akses menuju hal-hal yang dilarang. Mengucapkan selamat Natal merupakan “jalan” menuju hal-hal yang terlarang itu.
Yang membolehkan
Syeikh Yusuf Al-Qardhawi mengatakan bahwa mengucapkan selamat justru merupakan kebaikan (al-birr),  sebagaimana firman Allah SWT:
لايَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
Artinya: Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu dan tidak (pula) mengusirmu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. (QS. Al-Mumtahanah, 8)
Kebolehan memberikan ucapan selamat juga berlaku jika orang Kristen yang memberikan ucapan selamat kepada kita. Allah berfirman:
وَإِذَا حُيِّيتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ حَسِيبًا
Artinya: Apabila kamu diberi penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik, atau balaslah dengan penghormatan yang serupa. Sesungguhnya Allah memperhitungankan segala sesuatu. (QS. An-Nisa’: 86)
Musthafa Ahmad az-Zarqa’ menyatakan bahwa tidak ada dalil yang secara tegas melarang seorang Muslim mengucapkan selamat hari raya kepada orang kafir. Beliau mengutip hadits yang menyebutkan bahwa Rasulullah SAW pernah berdiri menghormati jenazah Yahudi. Penghormatan ini tidak ada kaitannya dengan pengakuan atas kebenaran agama yang dianutnya. Sehingga ucapan selamat kepada umat Kristiani tidak terkait dengan pengakuan atas kebenaran keyakinan mereka, melainkan hanya bagian dari mujamalah (saling berbuat baik) dan muhasanah (sopan-santun) kepada teman yang berbeda agama.
Selain itu, sikap Islam terhadap penganut agama monotheis (Yahudi dan Kristen) jauh lebih lunak daripada kepada kaum Musyrikin penyembah berhala. Bahkan al-Quran menghalalkan makanan serta wanita ahli kitab untuk dinikahi (al-Maidah: 5). Dan salah satu konsekuensi pernikahan adalah menjaga hubungan dengan pasangan, termasuk bertukar ucapan ‘selamat’.


Dalam sebuah riwayat disebutkan, seorang Majusi mengucapkan salam kepada Ibnu Abbas “assalamualaikum”, dan Ibnu Abbas menjawab “waalaikumussalam wa rahmatullah”. Kemudian sebagian sahabatnya bertanya, “dan rahmat Allah?”. Ibnu Abbas menjawab: “Bukankah mereka hidup itu merupakan bukti mendapat rahmat Allah Swt?.”
Intinya, ucapan selamat Natal adalah bagian dari masalah sosial (muamalah, non-ritual). Dalam Ushul Fiqh disebutkan, semua tindakan non-ritual adalah dibolehkan, kecuali ada dalil yang melarang. Dan menurut golongan kedua ini, tidak ada satu ayat Al Quran atau hadits pun yang secara eksplisit melarang mengucapkan selamat kepada orang non-muslim. Ini merupakan pendapat Ibnu Mas’ud, Abu Umamah, Ibnu Abbas, Al-Auza’i, An-Nakha’i, At-Thabari, dll.
Yang mengklasifikasi (Tafsil)
Selain dua pandangan di atas, ada juga ulama yang tidak mengharamkan secara mutlak dan tidak membolehkan secara mutlak. Pendapat ketiga ini memilah antara ucapan yang haram dan ucapan yang bisa ditolelir.
  1. Ucapan yang halal adalah ucapan yang tidak mengandung hal-hal yang bertentangan dengan syariah. Seperti, “Semoga Tuhan memberi petunjukNya kepada Anda.”
  2. Ucapan yang haram adalah ucapan yang mengandung hal-hal yang bertentangan dengan syariah. Seperti, ”Semoga Tuhan memberkati dan menyelamatkan Anda sekeluarga.”
Golongan ketiga ini juga membedakan antara ucapan selamat Natal karena terpaksa, dengan yang tidak terpaksa. Jika seorang Muslim berada di lingkungan Mayoritas Nasrani, seperti di Ambon, Papua, atau negara-negara Eropa dan Amerika atau pegawai yang bekerja kepada orang Nasrani, siswa di sekolah Nasrani, pebisnis yang sangat tergantung dengan kolega Nasrani, maka boleh mengucapan selamat Hari Natal kepada orang-orang Nasrani yang ada di sekitarnya. Ucapan selamat itu harus dibarengi unsur keterpaksaan dalam hati (inkar bil qalbi) serta diiringi istighfar.
Di antara kondisi terpaksa seperti: pegawai muslim yang tidak mengucapkan Selamat Natal karirnya dihambat atau dikurangi hak-haknya. Atau siswa muslim yang tidak memberikan ucapan Selamat Natal akan ditekan nilainya, diperlakukan tidak adil, dikurangi hak-haknya. Atau seorang muslim yang tinggal di daerah/negara non muslim jika tidak memberikan Selamat Hari Natal kepada tetangga Nasrani akan mendapatkan tekanan sosial dan sebagainya. Pendapat ini berdasarkan kepada firman Allah swt sbb:
مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ وَلَكِنْ مَنْ شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِنَ اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
Artinya: “Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah ia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang terpaksa, padahal hatinya tetap tenang keimanan. Akan tetapi orang yang menerima kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar”. (QS. Al-Nahl, 106).
Jika kondisi tidak memaksa dan tidak ada pengaruh sama sekali terhadap karir, jabatan, hak-hak, atau perlakuan orang-orang Nasrani sekelilingnya, maka tidak diperbolehkan baginya mengucapkan Selamat Natal.
Kita ikut yang mana?
Menurut kami, pendapat ketiga ini lebih kuat karena menetapkan hukum sesuai dengan situasi dan kondisi. Pertama, persoalan hukum yang bersifat ijtihadi (debatable dan tidak ada dalil secara langsung), maka keputusannya tidak boleh “hitam” dan “putih”, tanpa mempertimbangkan situasi dan kondisi yang mengitarinya. Ini merupakan prinsip Ushul Fiqh.
Kedua, dalam kaidah fiqh ditegaskan: keluar dari kungkungan khilaf (perbedaan pendapat) merupakan anjuran syariat. Artinya, jika kita berpegang pada pendapat yang mengharamkan saja, berarti kita menafikan pendapat yang menganjurkan, dan begitu sebaliknya. Maka pendapat ketiga (yang mempertimbangkan sikon), adalah solusi agar kita keluar dari kungkungan khilaf tersebut. Wallahu a’lam.
A. Mubarok Yasin, Pengasuh Rubrik Tanya Jawab Fiqh Tebuirengonline
read more

Terpopuler

Biografi Singkat Abuya Nurhasanuddin bin Abdul Latif Pengasuh Pondok Pesantren Darussa'adah Malang

Biografi Singkat Abuya Nurhasanuddin bin Abdul Latif Pengasuh Pondok Pesantren Darussa'adah Malang Abuya Nurhasanuddin lahi...
read

Lafadz HINDUN ( هِنْدٌ ) Termasuk pada Isim Munshorif apa Isim Ghoiru Munshorif ??

Pertanyaan: Lafadz  هندٌ  itu termasuk isim  munshorif atau isim  ghoiru  munshorif , jika termasuk isim ghoiru munshorif mengapa dit...
read

Download ebook Kunuzussa'adah pdf | Ma'had Darussa'adah Al-Islamy

     Assalamu'alaikum Wr.  Wb.      Para cendekia sekalian pada kali ini kami akan berbagi file dokumen Kunuzussa'adah   (pdf)...
read

Alfiyah Ibnu Malik (Keutamaan dan Ringkas Nadhomnya)

Masih di dalam BAB MUQODDIMAH Alfiyah Ibnu Malik,  Bismillahirrohmanirrohim, Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarokatuh. Alfiyah ...
read

Penjelasan ringkas syair - عَرَفْتُ الشَّرَّ لَا لِلشَّرِّ | Cendekiawan Santri

sebagian ahli syair menyatakan : عَرَفْتُ الشَّرَّ لاَ لِلشَّرِّ وَلَكِنْ لِتَوْقِيْهِ وَمَنْ لَمْ يَعْرِفِ الْخَيْرَ مِنَ الشَّرِّ ...
read

Find Us Facebook

Design by Desain Profesional