Cendekiawan Santri - Mudzakaroh dan Musyawarah serta Bahtsul Masail Seputar Ilmu Syariat Islam

Cendekiawan Santri - Mudzakaroh dan Musyawarah serta Bahtsul Masail Seputar Ilmu Syariat Islam
M E N U
  • HOME
  • BIOGRAFI ULAMA'
  • BAHTSUl MASAIL
  • Info & Berita Islami
  • Kajian
  • _Tajwid
  • _Bahasa Arab
  • _Shorrof
  • _Nahwu
  • _Fiqh
  • _Tasawwuf
  • _Ibroh
  • _Lirik dan Syair
  • Amalan Harian
  • Cerpen & Novel
  • _Cerpen Cerdas
  • _Cerpen Islami
  • _Novel islami
  • _Mimpi di atas Awan
  • _Tanda Titik
  • _Azwidatul Azkiya'
  • Bisnis Online

JADWAL UPDATE ARTIKEL

  • SENIN: Biografi Ulama' (Informasi & Cerita)
  • SELASA: Fiqh & Hadits
  • RABU: Bahasa Arab, Nahwu & Shorrof
  • KAMIS: Al Qur'an (Tajwid)
  • SABTU: Ibroh & Lirik Sya'ir
  • AHAD: Amalan Harian

Home » Fiqh

Fiqh Hadits

Kifayatul Akhyar fi Halli Ghayatil Ikhtishar


Assalamualaikum sahabat cendekia.

Agak lama Admin tidak ikut nimbrung di Blog Cendekiawan Santri ini, pada kesempatan kali ini kita akan mulai mengkaji kitab Fiqh yang cukup populer dikalangan para santriwan santriwati.


Yaitu sebuah kitab yang dikarang dan disusun oleh Syeikh Imam Al-Faqih Al-Muhaddits: Taqiyuddin Abi Bakar bin Muhammad bin Abdul Mukmin Al-Hushni Al-Husaini Ad-dimasqi As-Syafi'i, semoga senantiasa tambahan rahmat dan berkeah tercurahkan kepada beliau.


Dengan kearifan dan keluhuran ilmunya, beliau berhasil menyajikan kitab yang sangat mudah dipahami oleh setiap santri yang baru belajar ilmu agama. KIFAYATUL AKHYAR adalah sebutannya, menganalisis tatacara beibadah yang baik dan benar.


Sebab dari tersusunnya kitab ini karena Syeikh taqiyuddin diminta oleh para sahabat dan teman-temannya, untuk menciptakan sebuah kitab yang mudah untuk dipahami dan dengan ringkas namun mengandung makna dan pengertian yang luas.


Hal ini diterangkan dalam MUKADDIMAH kitab Kifayatul Akhyar fi Halli Ghayatil Ikhtishar. Beliau mengijabah permintaan para sahabatnya, begitupula karena beliau mengetahui betapa pentingnya mempelajari Ilmu Agama ini sesuai dengan Hadits Rasulullah SAW.


مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِى الدِّيْنِ

حديث شريف

"Barang siapa yang Allah kehendaki untuk menjadi orang yang baik, maka Allah berikan Ilmu Pengetahuan kepadanya untuk memahami Agama-Nya." 

Dengan tujuan utamanya adalah mengetahui cara beribadah kepada Allah dengan baik, sehingga dapat menjadikan kita semakin mudah dalam mendekatkan diri kepada-Nya.

Karena apabila ibadah kita tidak didasari dengan ilmu, maka semuanya akan sia-sia saja. Maka mempelajari Ilmunya juga sanagat penting, dalam kaidah santri Ilmu yang membahas tentang Ushul dan Tatacara Ibadah dengan benar disebut dengan Ilmu Fiqh. dan keutamaan mempelajarinya sangat penting, karena tidak ada ibadah yang lebih utama bagi Allah kecuali mengetahui cara beribadahnya dengan benar.

Sebagaimana yang telah disabdakan oleh Rasulullah SAW:

مَاعُبِدَ اللهُ سُبْحَانُهُ بِشَيْئٍ اَفْضَلَ مِنْ فِقْهٍ فِى الدِّيْنِ

"Tidak ada ibadah yang lebih utama bagi Allah, daripada beribadah dengan belajar Ilmu Fiqh (Ilmu Pengetahuan tentang beragama)". HR. Turmudzi dalam kitab Jami'nya.

--- Untuk Kajian Kifayatul Akhyar secara khusus silahkan mengunjungi link dari situs kajian kifayatul akhyar kami:


KUNJUNGI KAJIAN KAMI
read more
Fiqh

Air paling utama dalam Islam

 


Air merupakan sumber kehidupan di dunia.manusia itu sendiri bahkan bumi yang kita tinggali itu terdiri atas 70% air. Tidak akan ada kehidupan jika tidak ada air. Air merupakan kebutuhan pokok yang tidak bisa diganggu gugat. Manusia sendiri telah terbukti oleh ilmu kdokteran jika ia tidak minum sama sekali ia akan otomatis mati 40 hari setelahnya. Allah berfirman dalam alqur'an yang Artinya :“Dan kami jadikan dari air segala sesuatu yang hidup’’.(Q.S Al-Anbiya':30).

Ternyata air memenuhi bumi kita ini, Ada beberapa yang memiliki keistimewaan tersendiri daripada yang lain. Air-air yang istimewa itu telah dikumpulkan oleh ulama' dalam bentuk nadzam ,yaitu  

 وَأَفْضَلُ الْمِيَاهِ مـَاءٌ قَدْ نَبَعْ # بَيْنَ أَصَـــابِعِ النَّبِيِّ الْمُتَّبـَعْ

يَلِيْهِ مَاءُ زَمْزَمِ فَالْكَـــــــوْثَرِ # فَنِيْلُ مِصْرَثمَّ بَاقِي الْأَنْهَارِ

Artinya :

Paling afdhalnya(utamanya) air itu adalah air yang keluar #
Diantara jari-jari nabi yang diikuti(Nabi Muhammad).
Lalu air zamzam kemudian telaga kautsar #
Kemudian sungai nil di Mesir dan setelah itu air-air sungai lainnya. 

Air yang paling utama adalah air yang telah keluar dari jari-jari nabi Muhammad Saw. yang tidak akan terulang kembali sekarang. Itu terjadi sering kali tidak hanya satu kali. Mungkin cerita ini bisa nantikan artikel selanjutnya ya sobat cendekiawan.

Kemudian air kedua yang paling utama adalah air zamzam. Air yang sama sekali tidak mengandung kuman o,1% secara ilmiah. Dikatakan dalam kitab kanzun najah wa surur bahwasannya ketika bulan Rajab air-air sungai di dunia mengunjungi air zamzam karena sangking mulianya air zamzam. 

Kemudian air telaga kautsar, yaitu Telaga rasulullah Saw. yang berapa di surga yang akan diminumkan kepada umatnya beliau langsung dengan tangan mulia beliau. 

Kemudian air sungai Nil. Salah satu keistimewaan sungai Nil itu ketika Allah menunjukkan kekuasaan-Nya dihadapan fir'aun si pengaku tuhan. Dan ada beberapa keistimewaan lainnya. 

Kemudian diikuti air-air yang lain. Itu sedikit penjelasan air yang paling utama menurut ulama' .

read more
Amalan Harian Fikih Islam Fiqh Info & Berita Islam

Bagaimana tata cara shalat gerhana bulan

Pada Rabu 26 Mei 2021 bakal ada gerhana bulan total yang dapat disaksikan masyarakat Indonesia. Fenomena alam ini bisa disaksikan mulai pukul 18.08 WIB hingga 18.26 WIB. Gerhana Bulan sendiri sudah dimulai dari pukul 16.43 WIB dan akan berakhir pada pukul 19.51 WIB. Total durasi gerhana berlangsung selama 3 jam 8 menit.


Gerhana bulan dalam bahasa Arab disebut “khusuf”. Saat terjadi fenomena gerhana bulan kita dianjurkan untuk mengerjakan shalat sunah dua rakaat atau shalat sunah khusuf. Shalat sunah ini terbilang sunah muakkad.


Artinya, “Jenis kedua adalah shalat sunah karena suatu sebab terdahulu, yaitu shalat sunah yang dianjurkan untuk dikerjakan secara berjamaah yaitu shalat dua gerhana, shalat gerhana matahari dan shalat gerhana bulan. Ini adalah shalat sunah yang sangat dianjurkan,” (Lihat Syekh Nawawi Banten, Nihayatuz Zein, Bandung, Al-Maarif, tanpa keterangan tahun, halaman 109). 


Secara umum pelaksanaan shalat gerhana matahari dan shalat gerhana bulan diawali dengan shalat sunah dua rakaat dan setelah itu disusul dengan dua khutbah seperti shalat Idul Fitri atau shalat Idul Adha di masjid jami. Hanya saja bedanya, setiap rakaat shalat gerhana bulan dilakukan dua kali rukuk. Sedangkan dua khutbah setelah shalat gerhana matahari atau bulan tidak dianjurkan takbir sebagaimana khutbah dua shalat Id. 

Jamaah shalat gerhana bulan adalah semua umat Islam secara umum sebagai jamaah shalat Id. Sedangkan imamnya dianjurkan adalah pemerintah atau naib dari pemerintah setempat.


Sebelum shalat ada baiknya imam atau jamaah melafalkan niat terlebih dahulu sebagai berikut:

Ushalli sunnatal khusuf rak'ataini imaman/makmuman lillahi ta'ala 

Artinya, “Saya shalat sunah gerhana bulan dua rakaat sebagai imam/makmum karena Allah SWT.” 


Adapun secara teknis, shalat sunah gerhana bulan adalah sebagai berikut:

  1. Niat di dalam hati ketika takbiratul ihram.
  2. Mengucap takbir ketika takbiratul ihram sambil niat di dalam hati.
  3. Baca taawudz dan Surat Al-Fatihah. Setelah itu baca Surat Al-Baqarah atau selama surat itu dibaca dengan jahar (lantang).
  4. Rukuk dengan membaca tasbih selama membaca 100 ayat Surat Al-Baqarah.
  5. Itidal, bukan baca doa i’tidal, tetapi baca Surat Al-Fatihah. Setelah itu baca Surat Ali Imran atau selama surat itu.
  6. Rukuk dengan membaca tasbih selama membaca 80 ayat Surat Al-Baqarah.
  7. Itidal. Baca doa i’tidal.
  8. Sujud dengan membaca tasbih selama rukuk pertama.
  9. Duduk di antara dua sujud.
  10. Sujud kedua dengan membaca tasbih selama rukuk kedua.
  11. Duduk istirahat atau duduk sejenak sebelum bangkit untuk mengerjakan rakaat kedua.
  12. Bangkit dari duduk, lalu mengerjakan rakaat kedua dengan gerakan yang sama dengan rakaat pertama. Hanya saja bedanya, pada rakaat kedua pada diri pertama dianjurkan membaca surat An-Nisa. Sedangkan pada diri kedua dianjurkan membaca Surat Al-Maidah.
  13. Salam.
  14. Imam atau orang yang diberi wewenang menyampaikan dua khutbah shalat gerhana dengan taushiyah agar jamaah beristighfar, semakin takwa kepada Allah, tobat, sedekah, memerdekakan budak (pembelaan terhadap kelompok masyarakat marjinal), dan lain sebagainya.


Apakah boleh dibuat dalam versi ringkas? Dalam artian seseorang membaca Surat Al-Fatihah saja sebanyak empat kali pada dua rakaat tersebut tanpa surat panjang seperti yang dianjurkan?

Atau bolehkah mengganti surat panjang itu dengan surat pendek setiap kali selesai membaca Surat Al-Fatihah? Boleh saja.

Ini lebih ringkas seperti keterangan Syekh Ibnu Sayyid Muhammad Syatha Ad-Dimyathi dalam I’anatut Thalibin berikut ini.

Artinya, “Kalau seseorang membatasi diri pada bacaan Surat Al-Fatihah saja, maka itu sudah memadai. Tetapi kalau seseorang membatasi diri pada bacaan surat-surat pendek setelah baca Surat Al-Fatihah, maka itu tidak masalah. Tujuan mencari bacaan panjang adalah mempertahankan shalat dalam kondisi gerhana hingga durasi gerhana bulan selesai,” (Lihat Syekh Ibnu Sayyid Muhammad Syatha Ad-Dimyathi, I’anatut Thalibin, Beirut, Darul Fikr, 2005 M/1425-1426 H, juz I, halaman 303).


Selagi gerhana bulan berlangsung, maka kesunahan shalat dua rakaat gerhana tetap berlaku. Sedangkan dua khutbah shalat gerhana bulan boleh tetap berlangsung atau boleh dimulai meski gerhana bulan sudah usai. Demikian tata cara shalat gerhana bulan berdasarkan keterangan para ulama. Wallahu a’lam. (Dipersembahkan oleh: Alhafiz K - NU.or.id)

read more
Amalan Harian Fikih Islam Fiqh Hadits Info & Berita Islam

Amalan Mustajab Seusai Jumatan


Syair ini pada tahun 1950an kerap dilantunkan orang-orang tua. Demikian diceritakan orang-orang tua di masa kini. Syair yang juga dipopulerken Gus Dur ini kerap dinisbahkan kepada seorang legenda yang sangat cendekia dan jenaka. Walhasil syair ini keluar dari seseorang yang dikenal dengan sebutan Abu Nawas atau Abu Nuwas.

Tidak salah kalau syair berikut ini memiliki tempat di hati kalangan orang-orang baik. Selain kandungannya yang berbobot, syair ini diharapkan memberikan manfaat bagi pembacanya sebagaimana anjuran salah seorang ulama besar yang menghimpun syariat dan hakikat Syekh Abdul Wahhab Sya’roni. 

Sayid Bakri bin M Sayid Syatho Dimyathi dalam karyanya I‘anatut Tholibin mengutip ucapan Syekh Abdul Wahhab Sya’roni.

 عن سيدي عبد الوهاب الشعراني ـ نفعنا الله به ـ أن من واظب على قراءة هذين البيتين في كل يوم جمعة، توفاه الله على الإسلام من غير شك، وهما:

إِلَهِيْ لَسْتُ لِلْفِرْدَوْسِ أَهْلًا   وَلَا أَقْوَى عَلَى نَارِ الجَحِيْمِ 

فَهَبْ لِيْ تَوْبَةً وَاغْفِرْ ذُنُوْبِيْ   فَإِنَكَ غَافِرُ الذَنْبِ العَظِيْمِ

Dari Syekh Abdul Wahhab Sya’roni--semoga Allah memberikan maslahat kepada kita berkat Syekh Wahhab--bahwa siapa saja yang melazimkan dua bait ini setiap hari Jumat, maka Allah akan ambil ruhnya dalam keadaan Islam tanpa ragu sedikit pun. 

Kedua bait syair itu berbunyi: Ilahi lastu lil Firdausi ahla # Wa la aqwa ala naril jahimi / Fa hab li taubatan waghfir dzunubi # Fainnaka ghafirudz dzanbil ‘azhimi. (Tuhanku, aku bukanlah penghuni yang pantas surga-Mu. Aku pun tidak sanggup masuk neraka. Karena itu, bukalah pintu tobat-Mu. Ampunilah segenap dosaku. Karena sungguh Engkau ialah Zat yang maha pengampun)  

Perihal berapa kali dan jam berapa, memang tidak disebutkan oleh Syekh Wahhab. Namun, Sayid Bakri mengutip pendapat sebagian ulama yang mengamalkan syair tersebut.

ونقل عن بعضهم أنها تقرأ خمس مرات بعد الجمعة

Dikutip dari sejumlah ulama bahwa dua bait syair itu dibaca sebanyak 5 kali setelah mengerjakan shalat Jumat. 

Kalau hanya membaca lima kali setiap pekan, amalan ini dengan faidahnya yang luar biasa tampaknya ringan. Artinya, sayang kalau dilewatkan begitu saja. Syair ini bisa dibaca sebelum meninggalkan sajadah Jumatan. Setelah Ashar pun tidak menjadi masalah. Wallahu A‘lam. (Alhafiz K)
read more
Fikih Islam Fiqh Hadits tentang Ramadhan

Fardhu-fardhunya (Kewajiban dalam melaksanakan) Puasa


Sebelum memulai kajian tentang memahami kewajiban berpuasa, kami sapa dulu para sahabat cendekia dengan ucapan 

Assalamu'alaikum Warahtullahi Wabarakatuh

semoga selalu dalam rahmat dan pertolangan Allah SWT, pada pagi ini. sambil menunggu waktu Berbuka Puasa sejenak kita bertafakkur dan mengingat kalam Allah dan RasulNya dengan Penjelasan Ulama'-ulama'nya yang mewarisi sifat-sifat para NabinNya.

Apa sajakah Fardhu (Kewajiban dalam melaksanakan) Ibadah Puasa?

berikut adalah manuskrip dari kitab fiqh kajian puasa kali ini Kifayatul Akhyar.


Telah dawuh Mushonnif dalam kitabnya kifayatul akhyar dan adapun fardhu-fardhunya puasa itu ada 5 perkara, diantaranya adalah :

1. ber-Niat untuk melaksanakan puasa disiang hari
2. Menahan diri dari makan dan minum diwaktu siang
3. Menahan untuk tidak melakukan Jima' (Mengumpuli Istri-istri) diwaktu siang
4. Menahan dari Muntah
5. Mengetahui Batas waktu siang (memulai untuk berpuasa)

diterangkan bahwa tidak sah puasanya kecuali dengan berniat, seperti telah diterangkan dalam setiap Hadits.


Adapun dimana dan bagaimana cara melakukan niat itu sendiri?

niat dilakukan dengan menggunakan suara hati dan bukan suatu keharusan untuk mengucapkan / melafadzkannya secara lisan.

Pendapat ini sudah mufakat dan tidak ada perbedaan diantara para ulama'. dan Niat berpuasa itu wajib hukumnya dilakukan pada malam harinya,

Kenapa niat puasa dilakukan pada setiap malam?

Ibadah puasa adalah ibadah mustaqillah, artinya puasa dilakukan setiap hari maka ibadah dalam setiap hari itu adalah ibadah yang terpisah-pisah (Mandiri) maka diwajibkannya melakukan niat berpuasa pada setiap malamn untuk hari esok guna melaksanakan ibadah puasa.

Ingatlah! bahwa sesungguhnya tidak akan rusak amal ibadah puasa seseorang dikemudian hari dengan batalnya puasa sehari dalam melakukan ibadah puasa dibulan Ramadhan.

Singkatnya seperti ini pengertiannya. Ibadah Puasa Ramadhan itu diwajibkan sebulan suntuk tanpa terkecuali, maka tatkala ada sehari atau dua hari puasa seseorang batal maka ibadah puasa yang dilain harinya baik yg lebih awal atau yang lebih akhir tidak akan terpengaruh ibadahnya dan tetap dinyatakan sah. seperti itulah penjelasan yang dimaksudkan mushonnif dalam kitab ini.

sama halnya anda mempunyai sekarung buah misalnya 30 buah mangga, dan diantara 30 mangga itu ada yang bosok / rusak 1 atau 2 buah mangga. apakah yang lain akan ikut anda buang atau hanya yg bosok saja? pastinya yang akan dibuang adalah yg bosok / rusak saja. sisanya yang 29 / 28 buat tetap bisa dimakan dan baik untuk dikonsumsi. seperti itulah halnya ibadah puasa ramadhan ini.


Bagaimana hukum berniat puasa sebulan dimalam awal ramadhan? Apakah puasa kita sah?

Dari keterangan diatas menurut Madzhab Imam Asy-Syafi'i andaikata berniat puasa sebulan suntuk diawal malam bulan ramadhan saja maka hukukm puasanya sah,

Dan diharuskan dalam berniat puasa yang bersifat wajib untuk menjelaskan atau mengikut sertakan dalam niat atas kefardhuan / kewajiban puasa, seperti itu pula hukum berniat diwaktu malam.

dan bukan suatu alasan atau hambatan untuk tidak melakukan puasa disiang harinya setelah mealukan niat dimalam harinya walaupun dia tertidur, makan, mengumpuli istri2nya.

akan tetapi jika seseorang melakukan niat bersamaan dengan terbitnya fajar maka hukum pusanya tidak sah. kenapa? karena berniat puasa saat terbitnya fajar itu tidak dikategorikan berniat diwaktu malam.

Adapun lafadz niat yang sempurna menurut keteragan kitab kifayatul akhyar adalah sebegai berikut :

"Dia harus berniat puasa dihari esok untuk menunaikan kewajiban dibulan ramadhan tahun ini semata-mata karena Allah SWT" 

Ketahuilah bahwa menyertakan kata-kata ADAAN (Menunaikan) atau QADAAN (Mengganti) dalam niat puasa itu hukumnya ikhtilaf (ada perbedaan dalam kalangan ulama') dan itu juga terjadi dalam masalah niat dalam sholat. dan itu sudah menjadi hal yang tidak tabu. sudah lama menjadi perbincangan di kalangan ulama' masa lalu. jadi kita tidak perlu mempermasalahkan hal itu.

Kedudukan niat puasa disini adalah JAZIM (tetap) artinya tidak akan pernah rusak oleh niat yang lain. contohnya jika anda berniat berpuasa besok dan sebelum fajar / waktu subuh tiba atau setelah waktu siangnya anda berniat untuk tidak melaksanakan puasa maka niat awal tidak terpengaruhi oleh niat yang terakhir ini. jadi niat berpuasa yg telah dilakukan itu tetap ada dan berjalan sebagaimana mestinya. dan hukum berpuasa anda sah sampai matahari terbenam. 

Pengecualian jika anda melakukan hal-hal yang membatalkan ibadah puasa itu sendiri, karena tatkalan Dzat dari Ibadah yang rusak maka otomatis Niat juga akan rusak.

 Maka yang perlu diperhatikan dalam melaksanakan ibadah puasa adalah hal yang dapat membatalkan puasa. dan hal-hal yang membatalakan puasa itu banyak macamnya diantaranya adalah:
  • Makan, Minum walaupun hanya sedikit tapi disengaja itu dapat membatalkan puasa.
  • Berhati-hatilah terhadap sesuatu yang berpotensi akan masuk ke dalam badan dari lubang-lubang terbuka yang tembus kedalam badan, seperti melalui Telinga, Hidung, Dubur, Kemaluan. apabila masuknya sesuatu kedalam tubuh dari salah satu diatas dalam keadaan berpuasa dan disengaja maka ibadah puasanya batal.
Kesimpulan
Puasa ramadhan wajib hukumnya dengan berniat diwaktu malam dan menahan diri dari sesuatu yang dapat membatalkan ibadah puasa.

Sekian kajian kali ini. Wallahu A'alam Bis Shawab
setelah ini kita akan membahas Cabang Permasalahan dalam Perkara yang masuk kedalam badan

sampai berjumpa kembali, jangan lupa untuk kunjungi terus kajian bersama kami di cendekiawan santri dan langganan artikel terbaru dari blog cendekiawan santri terimakasih

Wassalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Al-Faqir : Abdul Mannan Sya'roni
Lumajang 25 April 2020 / 2 Ramadhan 1441 H.
read more
Fikih Islam Fiqh

Syarat Wajibnya Puasa

PEMBAHASAN PERTAMA
SYARAT WAJIBNYA PUASA

sebelum melanjutkan ke kajian, ada baiknya saya sapa dulu sahabat cendekia semuanya dengan uacapan

Assalamu'alaikum Warahmatullai Wabarakatuh.
Semoga senantiasa semuanya dalam lindungan dan rahmat Allah SWT.

Berikut text Arab dari kitab kifayatul akhyar dalam pembahasan hari ini.

Berkata Mushonnif (Pengarang Kitab Kifayatul Akhyar):
Adapun syarat wajibnya berpuasa itu ada tiga:


1. Beragama Islam
Dalam kontek ini mushonif menggunakan isim ma'rifat bahwasanya puasa yang disyariatkan akan dianggap sah dan memenuhi persyaratan dalam syariat agama islam tatkalan yang mengerjakannya adalah orang yang beragama islam.

2. Sudah Baligh
Baligh dalam ilmu fiqhih diterangkan sebagaimana telah disebutkan dalam kitab-kitab fiqh, penulis akan menukil dari keterangan Kitab Kasyifatus Sajaa 'ala Safinatin Najah Karangan Imam Muhammad Nawawi Al-Jawi Al-Bantani. Ulama' Karismatik dari Tanah Jawa Banten.
Halaman 16 dalam Bab Ciri-ciri Orang Baligh.

Ada 3 Ciri-ciri orang baligh:
  1. Sempurnanya umur 15 tahun bagi laki-laki dan perempuan. Umur ini dihitung mulai dia lahir keluar dari rahim seorang ibu (pendapat ini yang telah disepakati ulama'). dari pengertian ini penghitungan sempurnanya umur adalah dengan harian dalam bulan.
  2. Merasakan Keluar Air Mani bagi laki-laki dan perempuan yang sudah menginjak umur 9 tahun. Baik dalam keadaan sadar ataupun tidak (yakni dalam keadaan tidur ataupun bangun), jika dalam mimpi maka tidak diharuskan mani itu keluar. jika bermimpi merasakan keluar air maninya baik  ditemukan secara fisik setalah bangun atau tidak. tapi hal itu dirasakan maka itu sudah cukup menjadi ciri untuk ukuran baligh
  3. Mengalami Haid khusus perempuan yang sudah menginjak umur 9 tahun. 9 tahun ini tidak harus sempurna walaupun masih kurang dari genap umurnya sembilan tahun itu sudah dianggap sebagai ciri-ciri baligh. dengan ukuran paling sedikit kurang umurnya berkisar 16 hari atau 1/2 bulan.
3. Berakal
Berakal dalam syariat ialah orang yang  waras yakni orang yang akalnya sempurna. dalam hal ini termasuk diantaranya Orang Gila, Tidur, Mabuk dan lainnya yg menyebabkan tidak sadarkan diri. maka hal itu dapat menggugurkan kewajiban dalam melaksanakan Puasa, seperti halnya serupa orang yang mengkonsumsi obat-obatan terlarang atau minuman yang dapat membuat mabuk maka hukumnya sama.

APA PENGERTIAN PUASA ?

A. Puasa secara Bahasa (Lughot) adalah menahan diri dari sesuatu.

seperti hal yang telah Allah telah firmankan dalam Alqur'an : 
"Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa (menahan diri dari sesuatu) hanya karena Tuhan Yang Maha Pengasih"  (QS. Maryam : 26)

B. Puasa dalam Istilah (Syariat) adalah Menahan diri dengan ketentuan khusus, dari sesuatu yang ditentukan, dalam waktu atau masa yg ditentukan dengan beberapa syarat yang harus dipenuhi.

Kewajiban Puasa Ramadhan telah ditetapkan dalam Al-Qur'an, As-Sunnah (Hadits), dan Ijma' Ulama' (Mufakat Ulama')

Allah SWT telah berfirman dalam Al-Qur'an : 
"barangsiapa di antara kamu ada di bulan itu (Ramadhan), maka berpuasalah" (QS. Al-Baqarah : 185)

Dalam Hadits juga di sabdakan Oleh Nabi Muhammad SAW : 
"Agama islam itu terdiri dari Lima Pilar Pokok" (dan salah satunya beliau menyebut PUASA RAMADHAN). 
maka telah di sepakati Ijma' Ulama' tentang kewajiban Puasa Ramadhan ini.

Hadits diatas diriwayatkan Oleh Imam Bukhori r.a. dalam kitabnya halaman 8, Imam Muslim dalam kitabnya Halaman 16 dalam bab Iman. dan Imam Ahmad dalam Kitab Musnadnya Juz 2 Hal. 26, 93, 120, Imam At-Thurmidzi dalam kitabnya halaman 2609, Imam Nasa'i dalam kitabnya Juz 8 Hal. 108, dan Ibnu Hubban dalam kitabnya halaman 108 dan 1446 diriwayatkan dari hadits Abdillah bin Umar R.A. 

Kewajiban Puasa Ramadhan ini hanya diwajibkan kepada Orang Muslim yang baligh berakal dan kuasa untuk melaksanakannya.

Puasa Ramadhan tidak wajib bagi orang Kafir Asli karena sesungguhnya mereka bukan sebagian dari orang yang diwajibkan beribadah, seperti itu pula Anak-anak, dan Orang Gila. karena hal bersandar kepada Hadist Rasulullah SAW. beliau bersabda: 

"Telah diangkat Kalam dari 3 golongan, meraka adalah Anak-anak, Orang Gila, dan Orang Tidur." 

Diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dalam kitab Al-Hudud, Hal. 4398. Imam Nasa'i dalam kitabnya At-Tholaq Juz 6 Hal. 156 dengan sanad Hasan. dari Haditsnya Sayyidah A'isyah R.A. dan dalam satu Babnya dari Sayyidina 'Ali bin Abi Tholib R.A, dan dari Ibnu Abbas R.A.

read more
Bahtsul Masail Fikih Islam Fiqh Hadits Hadits tentang Ramadhan

Hukum Memperingati dan Merayakan Isro' Mi'roj Nabi Muhammad SAW

Hukum Memperinati dan Merayakan Isro' Mi'roj Nabi Muhammad SAW - Cendekiawan Santri

Isra Mi’raj dan Hukum Memperingatinya
Oleh : Ust. Mahfudz
(Sekretaris LBM NU Lampung)

DI bulan ini, yaitu Bulan Rajab, kaum muslimin biasa memperingati satu peristiwa yang sangat luar biasa, yaitu peristiwa perjalanan Rasulullah SAW dari Makkah ke Baitul Maqdis, kemudian naik ke Sidratul Muntaha menghadap Pencipta Alam Semesta.

Peristiwa ini tidak akan dilupakan kaum muslimin. Karena pada Isra Mi’raj ini lah turunnya perintah Allah untuk mengerjakan sholat lima waktu.

Untuk memperingati dan memaknai peristiwa yang luar biasa tersebut, biasanya kaum muslim mengadakan sebuah kajian. Taffakur, pengajian, dzikir dan acara-acara lain yang berkaitan dengan pemaknaan Isra Mi’raj itu sendiri dalam rangka menanamkan rasa kebanggaan serta menumbuhkan rasa kecintaan dengan ajaran Islam dalam hati para pemeluknya.

Peringatan Isra Miroj Nabi Muhammad SAW adalah sebuah momentum penting bagi umat Islam di seluruh dunia. Selain sebagai bentuk rasa syukur, bahagia dan bangga atas diutusnya Nabi Muhammad SAW yang membawa petunjuk sepanjang zaman, juga sebagai ajang mempererat persatuan dan kesatuan umat Islam.

Kalau ada sebagian golongan yang mengatakan bahwa memperingati Isra Mi’raj hukumnya bid’ah, itu adalah hak mereka.

Menurut hemat kami, peringatan Isra Mi’raj bisa disamakan dengan peringatan Maulid Nabi. Jika Nabi Muhammad SAW sendiri dan para sahabat tidak pernah melakukannya bukan berarti hal tersebut tidak diperbolehkan berdasarkan satu qoidah fiqhiyyah:

الأَصْلُ فِي العَادَاتِ وَالُمعاَمَلاتِ الإِبَاحَةُ حَتَّى يَدُلَّ الدَّلِيْلُ عَلَى التَّحْرِيْمِ

“Hukum asli adad dan mu’amalat adalah boleh, sehingga ada dalil yang menunjukkan keharamannya”.

Peringatan-peringatan seperti Isra Miraj, Maulid Nabi, dan Tahun Baru Hijriyyah adalah sebuah budaya atau tradisi masyarakat bukan sebuah Ibadah, sehingga penilaian yang ada hanya berkisar dicintai atau dibenci oleh syari’.

Sementara Rasulullah SAW telah bersabda,

مَنْ سَنَّ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ فَعَلَ بِهَا مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْئًا, وَمَنْ سَنَّ سُنَّةً سَيِّئَةً فَعَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ فَعَلَ بِهَا مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْئًا.

“Barang siapa menciptakan tradisi baru yang bagus, maka ia akan mendapat pahalanya dan pahala orang yang ikut mengerjakannya, dengan tanpa mengurangi sedikitpun dari pahala mereka dan barang siapa yang menciptakan tradisi baru yang jelek, maka ia akan mendapat dosanya dan dosa orang yang ikut mengerjakannya, dengan tanpa mengurangi sedikitpun dari dosa mereka.”

Hadits ini jelas merupakan anjuran untuk bisa kreatif, maksudnya setiap orang islam dianjurkan oleh Rasulullah saw agar bisa mengembangkan apa saja yang sudah disampaikan dan diajarkan oleh beliau, baik melalui kalam Illahi atau sunnah Rasulullah SAW, tidak peduli dengan tata cara, model prilaku, ketentuan, tindakan atau peraturan apapun, asal tidak keluar dari riel dan koredor syar’i.

Misalnya Rasulullah SAW perintah agar umatnya bersedekah. Apakah sesat kalau mereka membuat nasi tumpeng dan ingkung ayam terus disedekahkan? Misalnya lagi, Rasulullah memerintahkan umatnya agar menuntut ilmu, membaca Alquran dan bersilaturrahim. Apakah sesat kalau mereka membentuk jama’ah yasin dan tahlil, jama’ah khotmil Quran, jama’ah istighotsah dan lain-lain, sebagai wadah untuk mempererat tali silaturrahim, mempererat ukhuwwah islamiyyah, dan sebagai lahan bagi mereka untuk menimbah ilmu, membaca Alqur’an dan bersedekah?

Tentu jawaban dari semua itu adalah tidak sesat. Begitupun peringatan-peringatan seperti Isra Miraj dan Maulid Nabi adalah sebuah tradisi masyarakat, sebagai wujud rasa syukur terhadap al-Kholiq dan rasa mahabbah terhadap Rasul dan kekasih-Nya.

Kiranya hanya ini yang bisa saya tulis, mudah-mudahan bermanfaat. Silahkan kunjungi situs-situs lain yang menganggap bahwa peringatan-peringatan seperti Maulid Nabi, Isra Miraj bukanlah bid’ah, mungkin akan anda temukan dalil-dalil lain yang dapat menguatkan dalil-dalil yang ada di sini.

Wallahualam.(*)
read more
Bahtsul Masail Fikih Islam Fiqh Hadits

Peristiwa Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad di Langit Pertama

Untuk pertama kalinya dalam sejarah peradaban manusia, ada seseorang yang berdiri di pintu-pintu langit. Kemudian memasukinya. Dan bertemu dengan mereka yang ada di dalamnya. Orang tersebut adalah Muhammad bin Abdullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

isra miraj langit pertama cendekiwan santri

Tiba di Langit Dunia


Langit pertama yang juga dikenal dengan langit dunia adalah persinggahan berikutnya Nabi Muhammad. Sebelumnya, beliau mengendari Burak dari Mekah menuju Jerusalem. Setelah itu beranjak menaiki tangga menuju langit pertama.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

فَانْطَلَقَ بِي جِبْرِيلُ حَتَّى أَتَى السَّمَاءَ الدُّنْيَا فَاسْتَفْتَحَ، فَقِيلَ: مَنْ هَذَا؟ قَالَ: جِبْرِيلُ. قِيلَ: وَمَنْ مَعَكَ؟ قَالَ: مُحَمَّدٌ. قِيلَ: وَقَدْ أُرْسِلَ إِلَيْهِ؟ قَالَ: نَعَمْ. قِيلَ: مَرْحَبًا بِهِ فَنِعْمَ المَجِيءُ جَاءَ فَفَتَحَ

Kemudian Jibril beranjak bersamaku hingga kami tiba di langit dunia. Ia meminta dibukakan. Penjaga langit pertama bertanya, “Siapa?” “Jibril”, jawabnya. Ia kembali bertanya, “Siapa yang bersamamu?” Jibril menjawab, “Muhammad.”

“Apakah ia diutus kepada-Nya”, tanyanya lagi. “Iya”, jawab Jibril. Malaikat itu berkata, “Selamat datang. Sebaik-baik orang yang datang telah tiba.” Ia pun membuka (pintu langit).

Untuk pertama kalinya dalam sejarah peradaban manusia seorang manusia, dalam keadaan hidup, berdiri di pintu-pintu langit. Menunggu pintu-pintu itu dibukakan untuknya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam paham betul bahwa langit-langit itu memiliki pintu. Sebagaimana firman Allah Ta’ala tatkala menyifati orang-orang kafir.

لاَ تُفَتَّحُ لَهُمْ أَبْوَابُ السَّمَاءِ

“Sekali-kali tidak akan dibukakan bagi mereka pintu-pintu langit…” [Quran Al-A’raf: 40].

Dan firman Allah ketika mengisahkan kebinasaan kaum Nabi Nuh ‘alaihissalam.

فَفَتَحْنَا أَبْوَابَ السَّمَاءِ بِمَاءٍ مُنْهَمِرٍ

“Maka Kami bukakan pintu-pintu langit dengan (menurunkan) air yang tercurah.” [Quran Al-Qamar: 11].

Karena itu, ketika berdiri di depan pintu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“فَضَرَبَ -أي جبريل- بَابًا مِنْ أَبْوَابِهَا..”.

“Dia mengetuk -yaitu Jibril- pintu-pintu…”

Akan tetapi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengabarkan kepada kita tentang pintu tersebut. Bagaimana bentuknya. Warnanya. Dan sifat-sifatnya. Karena itu, kita pun tidak berkepentingan menerka-nerka dan membayangkan bagaimana bentuk pintu-pintu langit itu.

Penjaga pintu langit itu menanyakan siapa yang mengetuk. Hal ini menunjukkan yang di dalam langit tidak mengetahui siapa yang berada di luar. Atau penjaga langit itu tidak mengenal perwujudan Jibril dalam bentuk manusia ketika itu. Ketika Jibril menyebutkan dirinya, ia bertanya tentang siapa yang bersamanya. Dalam riwayat al-Bukhari dari Abu Dzar, penjaga langit itu bertanya,

هَلْ مَعَكَ أَحَدٌ؟

“Apakah engkau bersama seseorang?”

Dari riwayat ini, kita bisa memahami penjaga langit tidak melihat siapa yang di luar. Jibril pun menjawab,

نَعَمْ مَعِي مُحَمَّدٌ

“Iya, aku bersama Muhammad.”

Jawaban ini merupakan bentuk pengagungan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena ini menunjukkan bahwa penghuni langit mengenal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Sebelum peristiwa ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan kepada kita sifat langit dunia. Sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu:

“إِذَا قَضَى اللهُ الأَمْرَ فِي السَّمَاءِ، ضَرَبَتِ المَلاَئِكَةُ بِأَجْنِحَتِهَا خُضْعَانًا لِقَوْلِهِ، كَأَنَّهُ سِلْسِلَةٌ عَلَى صَفْوَانٍ، فَإِذَا فُزِّعَ عَنْ قُلُوبِهِمْ قَالُوا: مَاذَا قَالَ رَبُّكُمْ؟ قَالُوا لِلَّذِي قَالَ: الحَقَّ، وَهُوَ العَلِيُّ الكَبِيرُ. فَيَسْمَعُهَا مُسْتَرِقُ السَّمْعِ، وَمُسْتَرِقُ السَّمْعِ هَكَذَا بَعْضُهُ فَوْقَ بَعْضٍ -وَوَصَفَ سُفْيَانُ (هو سفيان بن عيينة أحد رواة الحديث) بِكَفِّهِ فَحَرَفَهَا، وَبَدَّدَ بَيْنَ أَصَابِعِهِ- فَيَسْمَعُ الكَلِمَةَ فَيُلْقِيهَا إِلَى مَنْ تَحْتَهُ، ثُمَّ يُلْقِيهَا الآخَرُ إِلَى مَنْ تَحْتَهُ، حَتَّى يُلْقِيَهَا عَلَى لِسَانِ السَّاحِرِ أَوِ الكَاهِنِ، فَرُبَّمَا أَدْرَكَ الشِّهَابُ قَبْلَ أَنْ يُلْقِيَهَا، وَرُبَّمَا أَلْقَاهَا قَبْلَ أَنْ يُدْرِكَهُ، فَيَكْذِبُ مَعَهَا مِائَةَ كَذْبَةٍ، فَيُقَالُ: أَلَيْسَ قَدْ قَالَ لَنَا يَوْمَ كَذَا وَكَذَا: كَذَا وَكَذَا. فَيُصَدَّقُ بِتِلْكَ الكَلِمَةِ الَّتِي سَمِعَ مِنَ السَّمَاءِ.

“Apabila Allah memutuskan sebuah perintah di langit, para malaikat menundukkan sayap-sayap mereka dengan penuh takut, bagaikan suara rantai yang ditarik di atas batu putih. Apabila telah hilang rasa takut dari hati mereka, mereka bertanya, ‘Apa yang dikatakakan oleh Tuhan kalian?’ Jibril menjawab, ‘Tentang kebenaran dan Ia Maha Tinggi lagi Maha Besar’. Lalu para pencuri berita langit (setan) mendengarnya. Mereka para pencuri berita langit itu sebagian mereka di atas sebagian yang lain.

-Sufyan (rawi hadits) mencontohkan dengan jari-jarinya- yang paling di atas mendengar sebuah kalimat lalu membisikannya kepada yang di bawahnya. Kemudian selanjutnya ia membisikan lagi kepada yang di bawahnya. Dan begitu seterusnya sampai ia membisikannya kepada tukang sihir atau dukun. Kadang-kadang ia disambar oleh bintang berapi sebelum menyampaikannya atau ia telah menyampaikannya sebelum ia disambar oleh bintang berapi. Kemudian setan mencampur berita tersebut dengan seratus kebohongan. Orang-orang berkomentar: bukankah ia telah berkata kepada kita pada hari ini dan ini… maka ia dipercaya karena satu kalimat yang pernah ia dengan langit tersebut’.” (HR. al-Bukhari, 4/1804 (4522)).

Peristiwa mendengar ini terjadi ketika diutusnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Firman Allah Ta’ala:

فَمَنْ يَسْتَمِعِ الآنَ يَجِدْ لَهُ شِهَابًا رَصَدًا

“Tetapi sekarang barangsiapa yang (mencoba) mendengar-dengarkan (seperti itu) tentu akan menjumpai panah api yang mengintai (untuk membakarnya).” [Quran Jin: 9]

Dan firman Allah Ta’ala:

إِنَّا زَيَّنَّا السَّمَاءَ الدُّنْيَا بِزِينَةٍ الْكَوَاكِبِ (6) وَحِفْظًا مِنْ كُلِّ شَيْطَانٍ مَارِدٍ (7) لاَ يَسَّمَّعُونَ إِلَى الْمَلإِ الأَعْلَى وَيُقْذَفُونَ مِنْ كُلِّ جَانِبٍ (8) دُحُورًا وَلَهُمْ عَذَابٌ وَاصِبٌ (9) إِلاَّ مَنْ خَطِفَ الْخَطْفَةَ فَأَتْبَعَهُ شِهَابٌ ثَاقِبٌ

“Sesungguhnya Kami telah menghias langit yang terdekat dengan hiasan, yaitu bintang-bintang, dan telah memeliharanya (sebenar-benarnya) dari setiap syaitan yang sangat durhaka, syaitan syaitan itu tidak dapat mendengar-dengarkan (pembicaraan) para malaikat dan mereka dilempari dari segala penjuru. Untuk mengusir mereka dan bagi mereka siksaan yang kekal, akan tetapi barangsiapa (di antara mereka) yang mencuri-curi (pembicaraan); maka ia dikejar oleh suluh api yang cemerlang.” [Quran Ash-Shaffat: 6-10].

Berangkatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ke langit merupakan peristiwa istimewa. Karena itu, penjaga pintu langit menyambut beliau dengan bahagia dan mengucapkan, “Selamat datang. Sebaik-baik orang yang datang telah tiba.”

Namun demikian, rasa bahagia penyambutan Nabi ini tidak membuat mereka luput dari amanah dalam menjaga pintu langit. Mereka tetap bertanya, “Apakah dia diutus kepada-Nya?” Padahal Jibril adalah pemimpin mereka. Pemimpin mereka membawa manusia yang mereka kenal sebagai manusia mulia. Yang tidak mungkin kedatangan manusia sampai ke pintu langit dan didampingi Jibril, pasti atas izin Allah. Tapi mereka tetap menanyakan hal itu. Hal ini menunjukkan betapa malaikat tidak memaksiati Allah dalam tugas-tugas yang Allah berikan pada mereka.

يَخَافُونَ رَبَّهُمْ مِنْ فَوْقِهِمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ

“Mereka takut kepada Tuhan mereka yang di atas mereka dan melaksanakan apa yang diperintahkan (kepada mereka).” [Quran An-Nahl: 50].

Kemudian penjagan pintu langit pun membukakan pintu. Jibril memasuki langit pertama bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di sini, Nabi Muhammad berjumpa dengan bapak manusia, Adam ‘alaihissalam.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan:

فَلَمَّا فَتَحَ عَلَينَا السَّمَاءَ الدُّنْيَا فَإِذَا رَجُلٌ قَاعِدٌ عَلَى يَمِينِهِ أَسْوِدَةٌ، وَعَلَى يَسَارِهِ أَسْوِدَةٌ، إِذَا نَظَرَ قِبَلَ يَمِينِهِ ضَحِكَ، وَإِذَا نَظَرَ قِبَلَ يَسَارِهِ بَكَى، فَقَالَ: مَرْحَبًا بِالنَّبِيِّ الصَّالِحِ وَالاِبْنِ الصَّالِحِ. قُلْتُ لِجِبْرِيلَ: مَنْ هَذَا؟ قَالَ: هَذَا آدَمُ، وَهَذِهِ الأَسْوِدَةُ عَنْ يَمِينِهِ وَشِمَالِهِ نَسَمُ بَنِيهِ، فَأَهْلُ اليَمِينِ مِنْهُمْ أَهْلُ الجَنَّةِ، وَالأَسْوِدَةُ الَّتِي عَنْ شِمَالِهِ أَهْلُ النَّارِ، فَإِذَا نَظَرَ عَنْ يَمِينِهِ ضَحِكَ، وَإِذَا نَظَرَ قِبَلَ شِمَالِهِ بَكَى

Ketika pintu langit dibukakan untuk kami, ternyata ada seseorang yang sedang duduk. Di sebelah kananya terdapat sekelompok besar orang. Demikian juga di sebelah kirinya. Apabila ia menoleh ke sebelah kanan, ia tersenyum. Saat menoleh ke sebelah kiri, ia menangis.

Lalu orang itu berkata, ‘Selamat datang Nabi yang shalih dan anak yang shalih.’ Aku bertanya kepada Jibril, ‘Siapakah dia?’ Jibril menjawab, Dialah Adam Alaihis Salam, dan orang-orang yang ada di sebelah kanan dan kirinya adalah ruh-ruh anak keturunannya. Mereka yang ada di sebelah kanannya adalah para ahli surga sedangkan yang di sebelah kirinya adalah ahli neraka. Jika dia memandang ke sebelah kanannya dia tertawa dan bila memandang ke sebelah kirinya dia menangis.’ (HR. al-Bukhari dalam Kitab ash-Shalah (342)).

Pertemuan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan Nabi Adam ‘alaihissalam di langit pertama merupakan penggambaran yang jelas. Adam adalah manusia pertama. Ia adalah ayah dari semua manusia. Termasuk para nabi. Ia berjumpa dengan putranya yang paling mulia, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau termasuk orang yang paling berbahagia dengan kemuliaan keturunannya ini. Kegembiraan itu terlihat dari ucapan beliau:

مَرْحَبًا بِالنَّبِيِّ الصَّالِحِ وَالاِبْنِ الصَّالِحِ

“Selamat datang Nabi yang shalih dan anak yang shalih.”

Dalam riwayat lain disebutkan:

مَرْحَبًا وَأَهْلاً بِابْنِي، نِعْمَ الاِبْنُ أَنْتَ

“Selamat datang wahai anakku. Engkau adalah sebaik-baik anak.” (HR. al-Bukhari dalam Kitab at-Tauhid (7079)).

Peristiwa yang menjadi perhatian dalam pertemuan Nabi Muhammad dengan Nabi Adam adalah berkumpulnya semua ruh manusia di sekitar Nabi Adam. Ruh-ruh penghuni surga berkumpul di sebelah kanan beliau. Sedangkan ruh-ruh penghuni neraka berada di sisi kirinya. Beliau tersenyum dan menangis. Senyuman beliau adalah ekspresi kebahagiaan. Sedang tangis beliau adalah wujud kasih sayang beliau terhadap anak-anaknya yang akan menemui tempat kembali yang buruk.

Bisa jadi juga beliau merasa bersalah karena beliau menjadi lantaran manusia turun ke bumi. Sehingga manusia berhadapan dengan ujian. Dan mereka gagal menghadapi ujian tersebut. Makna inilah yang beliau ungkapkan ketika berhadapan dengan manusia di Padang Mahsyar kelak. Beliau berkata,

وَهَلْ أَخْرَجَكُمْ مِنَ الجَنَّةِ إِلاَّ خَطِيئَةُ أَبِيكُمْ آدَمَ، لَسْتُ بِصَاحِبِ ذَلِكَ..

“Bukankah yang mengeluarkan kalian dari surga adalah kesalahan ayah kalian Adam. Aku tak layak memberi syafaat untuk kalian…” (HR. Muslim dalam Kitab al-Iman (195)).

Melihat 3 Sungai Surga

Di antara hal lainnya yang dilihat Nabi shallallahu antara langit pertama dan langit kedua adalah tiga sungai besar. Ketiga sungai itu adalah Sungai Nil, Sungai Eufrat, dan al-Kautsar.

فَإِذَا هُوَ فِي السَّمَاءِ الدُّنْيَا بِنَهَرَيْنِ يَطَّرِدَانِ، فَقَالَ: مَا هَذَانِ النَّهَرَانِ يَا جِبْرِيلُ؟ قَالَ: هَذَا النِّيلُ وَالْفُرَاتُ عُنْصُرُهُمَا. ثُمَّ مَضَى بِهِ فِي السَّمَاءِ، فَإِذَا هُوَ بِنَهَرٍ آخَرَ عَلَيْهِ قَصْرٌ مِنْ لُؤْلُؤٍ وَزَبَرْجَدٍ، فَضَرَبَ يَدَهُ فَإِذَا هُوَ مِسْكٌ أَذْفَرُ، قَالَ: مَا هَذَا يَا جِبْرِيلُ؟ قَالَ: هَذَا الكَوْثَرُ الَّذِي خَبَأَ لَكَ رَبُّكَ

“Ternyata di langit dunia ada dua sungai yang mengalir, Nabi Muhammad bertanya, ‘Dua sungai apa ini wahai Jibril? ‘ Jibril menjawab, ‘Ini adalah Nil dan Eufrat.’ Kemudian Jibril terus membawa Nabi ke langit, tiba-tiba ada sungai lain yang di atasnya ada istana dari mutiara dan intan, Nabi memukulnya dengan tangannya, tiba-tiba baunya seperti minyak wangi adlfar. Nabi bertanya, ‘Ini apa wahai Jibril? ‘ Jibril menjawab, ‘Ini adalah telaga al Kautsar yang sengaja disimpan oleh Tuhanmu untukmu’.” (HR. al-Bukhari dalam Kitab at-Tauhid (7079)).

Dalam perjalanan ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat tiga sungai. Yang pertama dan kedua adalah Sungai Nil dan Eufrat. Keduanya akan beliau lihat kembali di langit ketujuh. Adapun al-Kautsar adalah sungai yang istimewa. Ia adalah hadiah yang Allah berikan kepada Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Airnya harum bak misik. Bahkan lebih hebat lagi. Ia merupakan sungai di antara sungai-sungai surga.
read more
Fikih Islam Fiqh

Status Anak Angkat Dalam Hukum Islam


Mengadopsi, mengangkat, atau memungut anak sudah menjadi kelaziman dalam kehidupan kita sehari-hari. Hal ini dilakukan karena beberapa alasan, di antaranya karena tidak bisa memiliki keturunan, karena ingin menolong orang lain, ingin menyelamatkan harta, atau pun karena sebab-sebab tertentu lainnya.
Anak angkat dalam bahasa arab disebut “tabanny”. Dalam bahasa Inggris pengangkatan anak juga dikenal dengan istilah adopsi “adoptie” atau “adopt “.
Pasal 171 huruf h Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa “Anak angkat adalah anak yang dalam hal pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan pengadilan”.
Kedudukan anak angkat yang sedemikian memberikan arti yang sangat penting dalam melanjutkan sebuah keluarga. Perhatian terhadap anak sudah lama ada sejalan dengan peradaban manusia itu sendiri, yang dari hari kehari semakin berkembang, bimbingan khusus agar dapat berkembang fisik, mental dan spiritualnya secara maksimal.
Dari pengertian di atas, maka pengertian anak angkat adalah anak yang dalam pemeliharaannya untuk hidupnya dialihkan dari tanggungan orang tua asal kepada orang tua angkat.

Kebiasaan ada mulai jaman jahiliyah

Fenomena mengangkat anak ini sebetulnya sudah terjadi sejak jaman Jahiliyah dan juga masa-masa sebelumnya. Bahkan hal ini juga pernah dilakukan oleh Nabi sendiri yang pada waktu mengadopsi Zaid bin Haritsah ra. Kemudian Allah Ta’ala meluruskan perkara ini dengan menurunkan surat Al-Ahzab ayat 4,
وَمَا جَعَلَ أَدْعِيَاءَكُمْ أَبْنَاءَكُمْ ذَلِكُمْ قَوْلُكُمْ بِأَفْوَاهِكُمْ وَاللَّهُ يَقُولُ الْحَقَّ وَهُوَ يَهْدِي السَّبِيلَ
“Dan Allah tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar)” (QS Al-Ahzab: 4)
Asbabun nuzul ayat ini menurut Imam Ibnu Katsir berkaitan dengan pengangkatan Zaid bin Haritsah sebagai anak Muhammad. Ibnu Katsir berkata, “Sesungguhnya ayat ini turun (untuk menjelaskan) keadaan Zaid bin Haritsah radhiyallahu ‘anhu, bekas budak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebelum diangkat sebagai Nabi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkatnya sebagai anak, sampai-sampai dia dipanggil “Zaid bin Muhammad” (Zaid putranya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam), maka Allah Ta’ala ingin memutuskan pengangkatan anak ini dan penisbatannya (kepada selain ayah kandungnya) dalam ayat ini, sebagaimana juga firman-Nya di pertengahan surah al-Ahzaab,
مَا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِنْ رِجَالِكُمْ وَلَكِنْ رَسُولَ اللَّهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ وَكَانَ اللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا
“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup para nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” (QS al-Ahzaab: 40)
Dengan diturunkannya ayat tentang pengangkatan anak oleh Allah ini menunjukkan bahwa perkara ini berarti sangat penting. Salah satu point pentingnya adalah dampak yang ditimbulkan dari pengangkatan anak ini terkait dengan batalnya wudhu’, batalnya hak waris, dan lain sebagainya. Bila perkara ini disepelekan bisa jadi selamanya shalat kita tidak sah sebab kita beraktifitas dengan seorang anak yang sebetulnya statusnya orang lain dalam pandangan Islam.
Walaupun sudah menjadi kelaziman dalam kehidupan kita sehari-hari, tentunya bagi kita yang beragama Islam, terutama bagi yang berniat untuk mengadopsi anak perlu memahami hukum dan konsekwensi dalam mengangkat anak. Di samping rencana kita untuk mengadopsi anak kesampaian, namun kita tidak sampai jatuh ke dalam kubangan dosa terus-menerus disebabkan kita menyelisihi ketetapan Allah dan Nabi.

Status Anak Angkat Dalam Hukum Islam

Pada waktu sebelum datangnya Islam, kaum Jahiliyah menganggap anak angkat adalah sama status hukumnya seperti anaknya sendiri (kandung). Dengan turunnya ayat di atas, maka mengangkat anak untuk kemudian dianggap sama status hukumnya dengan anak kandungnya sendiri dibatalkan.
Hukum ini ditetapkan semata-mata hanya bertujuan untuk memperjelas status hukum. Sebab ada beberapa hal (syariat) yang akan menjadi rancu bilamana Islam mengakomodir (membenarkan) pengangkatan anak, di mana hal itu mustahil terjadi. Seperti status mahram dalam Islam yang tidak bisa digantikan ketika hubungan mahram hanya bisa diikat dengan pertalian darah. Hukum Islam akan kacau bila status pengangkatan anak dibenarkan, di mana orang lain menjadi tidak membatalkan wudlu, orang lain bisa menjadi wali nikah, orang lain dapat merebut harta warisan. Padahal ketidak konsistenan hukum dalam Islam mustahil terjadi.
Untuk menjaga konsistensi hukum (ajaran) Islam tersebut, maka Allah membatalkan hukum yang memperbolehkan mengangkat anak. Sehingga terkait dengan pengangkatan anak tersebut memiliki konsekwensi hukum dalam Islam. Di antaranya;
Pertama, Dilarang menisbatkan (menghubungkan secara kekeluargaan -atributtion) seorang anak kepada selain ayah kandungnya, berdasarkan firman Allah Ta’ala,
ادْعُوهُمْ لِآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ ۚ فَإِنْ لَمْ تَعْلَمُوا آبَاءَهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ وَمَوَالِيكُمْ ۚ وَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيمَا أَخْطَأْتُمْ بِهِ وَلَٰكِنْ مَا تَعَمَّدَتْ قُلُوبُكُمْ ۚ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
“Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Surat Al-Ahzab Ayat 5)
Imam Ibnu Katsir berkata, “(Ayat) ini (berisi) perintah (Allah Ta’ala) yang menghapuskan perkara yang diperbolehkan di awal Islam, yaitu mengakui sebagai anak (terhadap) orang yang bukan anak kandung, yaitu anak angkat. Maka (dalam ayat ini) Allah Ta’ala memerintahkan untuk mengembalikan penisbatan mereka kepada ayah mereka yang sebenarnya (ayah kandung), dan inilah (sikap) adil dan tidak berat sebelah”(Kitab “Tafsir Ibnu Katsir” halaman 3/615).
Kedua, Anak angkat bukanlah mahram, kecuali anak yang diangkat sebelumnya memang memiliki pertalian mahram. Seperti anak saudara atau anak yang kemudian disusui (rodho’). Konsekwensi hukum anak angkat bukan mahram adalah hukum-hukum sebagai ajnabi (orang lain) otomatis masih berlaku, seperti tidak ada perwalian, membatalkan wudlu, berlakunya batas-batas aurat, dibenarkan terjadi pernikahan, tidak berlaku waris mewarisi, dan lain sebagainya.
Sehingga bagi anak yang diasuh dalam keluarga sehari hari wajib bagi orang tua angkatnya maupun anak-anak kandung mereka untuk menggunakan hijab yang menutupi aurat didepan anak angkat tersebut, sebagaimana ketika mereka didepan orang lain yang bukan mahram.
Karena anak angkat hakikatnya orang lain, maka bagi orang tua angkat boleh menikahi anak angkatnya sendiri, tentu saja dengan izin walinya, yaitu ayah kandung anak tersebut. Sebagaimana firman Allah Ta’ala di bawah ini,
وَإِذْ تَقُولُ لِلَّذِي أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَأَنْعَمْتَ عَلَيْهِ أَمْسِكْ عَلَيْكَ زَوْجَكَ وَاتَّقِ اللَّهَ وَتُخْفِي فِي نَفْسِكَ مَا اللَّهُ مُبْدِيهِ وَتَخْشَى النَّاسَ وَاللَّهُ أَحَقُّ أَنْ تَخْشَاهُ فَلَمَّا قَضَى زَيْدٌ مِنْهَا وَطَرًا زَوَّجْنَاكَهَا لِكَيْ لا يَكُونَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ حَرَجٌ فِي أَزْوَاجِ أَدْعِيَائِهِمْ إِذَا قَضَوْا مِنْهُنَّ وَطَرًا وَكَانَ أَمْرُ اللَّهِ مَفْعُولا
“Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi nikmat kepadanya: “Tahanlah terus isterimu dan bertaqwalah kepada Allah”, sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap isterinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mu’min untuk (mengawini) bekas isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya (menceraikannya). Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi” (QS Al-Ahzaab: 37).
Syaikh ‘Abdur Rahman as-Sa’di berkata: “asbabun nuzulnya turunnya ayat ini adalah bahwa Allah Ta’ala ingin menetapkan ketentuan syriat yang umum bagi semua kaum mukminin, (yaitu) bahwa anak-anak angkat hukumnya berbeda dengan anak-anak yang sebenarnya (kandung) dari semua segi, dan bahwa (bekas) istri anak angkat boleh dinikahi oleh bapak angkat mereka Dan jika Allah menghendaki suatu perkara, maka Dia akan menjadikan suatu sebab bagi (terjadinya) hal tersebut, (yaitu kisah) Zaid bin Haritsah yang dipanggil “Zaid bin Muhammad” (di jaman Jahiliyah), karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengangkatnya sebagai anak, sehingga dia dinisbatkan kepada (nama) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sampai turunnya firman Allah:
ادْعُوهُمْ لِآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ ۚ فَإِنْ لَمْ تَعْلَمُوا آبَاءَهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ وَمَوَالِيكُمْ ۚ وَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيمَا أَخْطَأْتُمْ بِهِ وَلَٰكِنْ مَا تَعَمَّدَتْ قُلُوبُكُمْ ۚ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
“Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Surat Al-Ahzab Ayat 5)
Kemudian setelah itu dia di pangil “Zaid bin Haritsah”
Istri Zaid bin Haritsah adalah Zainab bintu Jahsy radhiyallahu ‘anha, putri bibi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Telah terlintas dalam hati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa jika Zaid menceraikannya maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menikahinya. Kemudian Allah menakdirkan terjadinya sesuatu antara Zaid dengan istrinya tersebut yang membuat Zaid mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan meminta izin kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menceraikan istrinya (Kemudian setelah itu Allah Ta’ala menikahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan Zainab bintu Jahsyradhiyallahu ‘anha sebagaimana ayat tersebut di atas”.
Walaupun mengangkat anak dalam hukum Islam tidak diakui bukan berarti kita tidak boleh merawat anak orang lain dalam rumah kita. Sebagaimana Nabi sejak kecil diasuh oleh Halimatus Sa’diyah, yang berasal dari Bani Sa’ad dalam kabilah Hawazin, yang terletak tidak seberapa jauh dari kota Makkah. Di perkampungan Bani Sa’ad inilah Nabi diasuh dan dibesarkan sampai berusia 5 tahun.
Dalam sebuah Hadits nampak bahwa mengasuh mereka yang dalam keadaan prihatin dianjurkan oleh Nabi. Sebagaimana riwayat hadits berikut,
أَنَّ عَائِشَةَ زَوْجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَتْ تَلِي بَنَاتَ أَخِيهَا يَتَامَى فِي حَجْرِهَا لَهُنَّ الْحَلْيُ فَلَا تُخْرِجُ مِنْ حُلِيِّهِنَّ الزَّكَاةَ
“bahwa [Aisyah] isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengasuh anak-anak perempuan saudara laki-lakinya yang sudah yatim, dan mereka mempunyai perhiasan. Namun Aisyah dia tidak mengeluarkan zakat dari perhiasan mereka.” (Hadits Malik Nomor 521)
Juga riwayat hadits berikut,
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ عَالَ جَارِيَتَيْنِ حَتَّى تَبْلُغَا جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَنَا وَهُوَ وَضَمَّ أَصَابِعَهُ
“dari [Anas bin Malik] dia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Barang siapa dapat mengasuh dua orang anak perempuannya hingga dewasa, maka aku akan bersamanya di hari kiamat kelak.’ Beliau merapatkan kedua jarinya.” (Hadits Muslim Nomor 4765)

Solusi

Walaupun hukum Islam memiliki prinsip yang kuat, namun bukan berarti Islam tidak memberikan jalan keluar dari setiap fenomena dan persoalan yang berkembang di tengah-tengah ummatnya. Berikut solusi terkait dengan fenomena kebutuhan sebagaian orang yang tetap menghendaki memiliki anak walau dari orang lain,
Pertama, boleh mengangkat anak orang lain, agar anak orang lain tersebut statusnya menjadi seperti anak kandung sendiri dalam hal mahram, maka rawatlah anak tersebut semenjak kecil dan susui secara sempurna sebelum dia mencapai usia dua tahun. Konsekwensi anak angkat yang kita susui adalah dia sudah tidak membatalkan wudlu, tidak ada batas-batas aurat, boleh berkholwat, dan otomatis haram untuk dinikahi. Solusi agar orang lain bisa menjadi mahram dengan disusui, seperti perintah Nabi dalam hadits berikut,
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ سَالِمًا مَوْلَى أَبِي حُذَيْفَةَ كَانَ مَعَ أَبِي حُذَيْفَةَ وَأَهْلِهِ فِي بَيْتِهِمْ فَأَتَتْ تَعْنِي ابْنَةَ سُهَيْلٍ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ إِنَّ سَالِمًا قَدْ بَلَغَ مَا يَبْلُغُ الرِّجَالُ وَعَقَلَ مَا عَقَلُوا وَإِنَّهُ يَدْخُلُ عَلَيْنَا وَإِنِّي أَظُنُّ أَنَّ فِي نَفْسِ أَبِي حُذَيْفَةَ مِنْ ذَلِكَ شَيْئًا فَقَالَ لَهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرْضِعِيهِ تَحْرُمِي عَلَيْهِ وَيَذْهَبْ الَّذِي فِي نَفْسِ أَبِي حُذَيْفَةَ فَرَجَعَتْ فَقَالَتْ إِنِّي قَدْ أَرْضَعْتُهُ فَذَهَبَ الَّذِي فِي نَفْسِ أَبِي حُذَيْفَةَ
“dari [Aisyah] bahwasannya Salim budak Abu Hudzaifah, Hudzaifah, dan istrinya tinggal serumah. Maka putri Suhail (yaitu istri Abu Hudzaifah) datang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dia berkata; “Sesungguhnya Salim telah tumbuh dewasa dan berpikir layaknya orang yang sudah dewasa, akan tetapi dia masih bebas masuk menemui kami, sesungguhnya saya khawatir dalam diri Abu Hudzaifah ada sesuatu.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadanya: “Susuilah dia, sehingga dia akan menjadi mahrammu, dengan begitu akan hilang apa yang menjadi pikiran Abu Hudzaifah.” Tidak lama kemudian, dia kembali dan berkata; Sesungguhnya saya telah menyusuinya, maka hilang pulalah pikiran yang bukan-bukan dari diri Abu Hudzaifah. (Hadits Muslim Nomor 2637)
Kedua, walaupun anak angkat tidak berhak mendapatkan warisan, namun kita yang telah merawatnya sejak kecil atau dia anak angkat telah merawat kita ketika kita sudah lemah. Maka ketika kita hendak melimpahkan harta kepadanya maka gunakan cara hibah (pemberian) atau wasiat wajibah (wasiat yang bersifat wajib ) dan untuk dapat mengikat wasiat tersebut dapat menggunakan jasa notaris bila kita berada di bawah hukum negara Indonesia.
Sebagai rasa kemanusiaan di mana terkadang anak kandung tidak merawat, dan anak angkat malah terkadang yang lebih perduli merawat kita, maka Islam tetap memberikan solusi sebagai imbal baik dengan cara melimpahkan harta kita kepada anak angkat kita dengan cara hibah (pemberian) atau dengan cara wasiat wajibah (yang wajib dilaksanakan setelah kita meninggal. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَعْطَى كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ فَلَا وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ
‘Sesungguhnya Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah memberi masing-masing orang haknya, maka tidak ada harta wasiat bagi ahli waris.'” (Hadits Ibnu Majah Nomor 2704)
Ketiga, Boleh memanggil anak orang lain dengan sebutan ‘anak atau nak’ dengan tujuan memuliakan dan menunjukkan kasih sayang. Peristiwa ini diperbolehkan dalam syariat agama Islam dan tidak ada sedikitpun dari nash yang menyebutkan larangan mengenai peristiwa ini baik (Al-Quran, Hadis atau pun ijma’para ulama). Sebagaimana yang telah disebutkan dalam beberapa hadist yang shahih di bawah ini:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَدَّمَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْلَةَ الْمُزْدَلِفَةِ أُغَيْلِمَةَ بَنِي عَبْدِ الْمُطَّلِبِ عَلَى حُمُرَاتٍ فَجَعَلَ يَلْطَخُ أَفْخَاذَنَا وَيَقُولُ أُبَيْنِيَّ لَا تَرْمُوا الْجَمْرَةَ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ
“dari [Ibnu Abbas], ia berkata; Rasulullah shallAllahu wa’alaihi wa sallam mendahulukan Kami pada malam di Muzdalifah yaitu anak-anak Bani Abdul Muththalib di atas keledai. Kemudian beliau menepuk paha Kami dan berkata: “Wahai anak-anakku, janganlah melempar jumrah hingga matahari terbit.” (Hadits Abu Daud Nomor 1656)
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا بُنَيَّ
“dari [Anas bin Malik]; dia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memanggilku dengan kalimat; ‘Wahai anakku.’ (Hadits Muslim Nomor 4004)
Maka dari itu, Imam An-Nawawi dalam kitabnya “shahih Muslim” (3/1692) mencantumkan hadits ini dalam bab: Bolehnya seseorang berkata kepada selain anaknya: “Wahai anakku”, dan dianjurkannya hal tersebut untuk menunjukkan kasih sayang”.
Demikianlah penjelasan singkat mengenai hukum hukum yang terkait dalam mengadopsi anak yang terdapat dalam hukum Islam, walaupun demikian bukan berarti agama kita melarang umatnya untuk melakukan hal ini (mengadopsi anak), menolong dengan sesama menolong anak yatim atau pun anak yang terlantar yang masih membutuh kasih sayang dan sosok orang tua. Sama sekali tidak!
Namun yang perlu digaris bawahi adalah sikap berlebihan yang dilakukan kita terhadap anak angkat yang sampai-sampai melampaui batas hukum yang telah ditetapkan dalam syariat agama mengenai statusnya.
Bahkan agama kita sangat menganjurkan agar kita sebagai umatnya selalu menebarkan baik dengan sesamanya, terutama terhadap anak yatim dan anak-anak yang tidak mampu yang masih butuh kasih sayang oleh orang tuanya dengan cara membiayai hudup, mengasuh, serta mendidiknya dengan pendidikan yang sesuai dengan syariat agama Islam. Bahkan amalan ini termasuk amal shaleh yang nilai pahalanya sangat begitu besar disisi Allah SWT, sebagaimana yang tercantum dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
أَنَا وَكَافِلُ الْيَتِيمِ فِي الْجَنَّةِ هَكَذَا وَقَالَ بِإِصْبَعَيْهِ السَّبَّابَةِ وَالْوُسْطَى
“Aku dan orang yang menanggung anak yatim berada di surga seperti ini.” Beliau mengisyaratkan dengan kedua jarinya yaitu telunjuk dan jari tengah.” (Hadits Bukhari Nomor 5546)
Maksudnya: Seseorang yang selalu berbuat baik (menyantuni) terhadap anak-anak yatim ketika di dunia maka besok tatkala di akhirat akan menempati tempat yang mulia disisi Tuhannya yaitu (surga) bersama dengan Nabi agung Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Semoga penjelasan yang singkat ini bisa mendapatkan berkah dan manfaaat bagi diri kita sekalian dan bisa mengamalkan dalam kehidupan sehari-hari agar kita agar kita selalu dilimpahkan rahmat, taufik, serta hidayah-Nya sehingga kita akan menjadi hamba yang selalu berusaha mendekatkkan diri kepada Allah SWT dan mencapai tingkatan tertinggi disisi Tuhannya, amin ya rabbal’alamin.

Catatan:

Antara Hibah, Warisan, dan Wasiat
Hibah, warisan, dan wasiat adalah tiga bentuk perpindahan harta dari satu orang ke orang lain yang memiliki aturan berbeda.
Hibah: memberikan sesuatu kepada orang lain tanpa ada timbal balik (searah). Hibah hanya boleh diberikan selama orang yang memberikan masih hidup, sadar, dan tanpa paksaan.
Wasiat: Memberikan sesuatu kepada orang dan baru akan dilaksanakan setelah orang yang memberi ini meninggal dunia. Wasiat boleh dijalankan, dengan syarat:
  1. Tidak diberikan kepada Ahli waris
  2. Tidak boleh lebih dari sepertiga. Jika lebih dari seperti maka harus dengan persetujuan ahli waris.

Warisan: Pemindahan hak dari satu orang kepada orang tertentu, dengan porsi dan aturan tertentu, tanpa harus ada akad sebelumnya.
Dari ketiga jenis pemindahan kepemilikan di atas, anak angkat bisa mendapatkan harta dari ortu angkatnya dengan dua skema: hibah atau wasiat. Sementara untuk warisan, dia tidak mendapatkan, karena anak angkat bukan ahli waris.
Oleh: KH. Ainur Rofiq Sayyid Ahmad
read more

Terpopuler

Biografi Singkat Abuya Nurhasanuddin bin Abdul Latif Pengasuh Pondok Pesantren Darussa'adah Malang

Biografi Singkat Abuya Nurhasanuddin bin Abdul Latif Pengasuh Pondok Pesantren Darussa'adah Malang Abuya Nurhasanuddin lahi...
read

Lafadz HINDUN ( هِنْدٌ ) Termasuk pada Isim Munshorif apa Isim Ghoiru Munshorif ??

Pertanyaan: Lafadz  هندٌ  itu termasuk isim  munshorif atau isim  ghoiru  munshorif , jika termasuk isim ghoiru munshorif mengapa dit...
read

Download ebook Kunuzussa'adah pdf | Ma'had Darussa'adah Al-Islamy

     Assalamu'alaikum Wr.  Wb.      Para cendekia sekalian pada kali ini kami akan berbagi file dokumen Kunuzussa'adah   (pdf)...
read

Alfiyah Ibnu Malik (Keutamaan dan Ringkas Nadhomnya)

Masih di dalam BAB MUQODDIMAH Alfiyah Ibnu Malik,  Bismillahirrohmanirrohim, Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarokatuh. Alfiyah ...
read

Penjelasan ringkas syair - عَرَفْتُ الشَّرَّ لَا لِلشَّرِّ | Cendekiawan Santri

sebagian ahli syair menyatakan : عَرَفْتُ الشَّرَّ لاَ لِلشَّرِّ وَلَكِنْ لِتَوْقِيْهِ وَمَنْ لَمْ يَعْرِفِ الْخَيْرَ مِنَ الشَّرِّ ...
read

Find Us Facebook

Design by Desain Profesional